Laman

Sabtu, 14 November 2009

QURBAN................

QURBAN: Mendekat Kepada Allah,

Arti Etimologis Kurban

  Secara etimologis kata kurban berasal dari qurb atau qurban yang berarti dekat atau mendekat1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan kurban sebagai persembahan kepada Tuhan (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji)2. Dalam ilmu fikih, kurban juga disebut udhiah3 (menyembelih hewan di waktu matahari sedang naik di pagi hari) yang berasal dari kata dahwah atau duha (waktu matahari sedang naik di pagi hari). Dari kata dahwah atau duha tersebut diambil kata dahiyah yang jamaknya udhiah.


Arti Terminologi Kurban

  Kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah saw pada waktu Idul Adha atau hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah).



Sejarah Syariat Kurban

  Dalam perspektif Islam, awalnya berkurban merupakan syariat yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Hal tersebut dikabarkan dalam al-quran sebagai berikut :

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (QS.37: 107).

Kemudian Allah swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk meneruskan syariat yang demikian setiap Idul Adha. Pelaksanaan kurban disyariatkan pada tahun kedua Hijrah, bersamaan dengan pensyariatan zakat serta salat Idul Fitri dan Idul Adha. Pensyariatan ibadah kurban didasarkan pada firman Allah swt dan hadis Nabi Muhammad saw sebagai berikut :

“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS.108: 2).

“Dan telah Kami jadikan unta-unta itu sebagian dari syiar Allah …” (QS.22: 36).

“Barangsiapa yang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri tempat salat kami” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah).

“Tidak ada amal keturunan Adam yang lebih disukai Allah pada Hari Idul Adha selain menyembelih kurban. Sesungguhnya binatang itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, dan bulunya. Dan sesungguhnya darah kurban lebih dahulu tercurah karena Allah sebelum ia tercurah ke Bumi, yang membuat jiea menjadi senang” (HR. at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

“Rasulullah saw sendiri senantiasa berkurban dengan dua ekor domba pada setiap Idul Adha, satu untuk dirinya dan satu lagi diniatkan bagi umatnya” (HR. Jamaah).



Hukum Kurban

Fukaha (ahli fikih) mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang hukum kurban sebagai berikut :.

1. Imam Abu Hanifah (mazhab Hanafi) berpendapat bahwa hukum kurban adalah wajib dilakukan satu kali dalam setahun. Pendapat tersebut didasarkan pada firman Allah swt : “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS.108: 2), dan sabda Rasulullah saw : “Barang siapa yang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri tempat salat kami” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah). Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya dalam memahami hadis tersebut memandang adanya ancaman berat dan perintah yang dikandungnya adalah perintah wajib. Seandainya perintah Rasulullah saw itu adalah perintah sunah, maka Nabi saw tidak akan menyebutkan ancaman yang demikian berat atas orang yang tidak melaksanakannya. Meskipun demikian, hukum wajib berkurban dapat berubah menjadi sunah (tatawwu’). Perubahan itu terjadi apabila pelakunya orang miskin yang tidak bernazar untuk menyembelih kurban dan tidak pula membeli hewan dengan niat kurban. Kalau orang miskin bernazar untuk menyembelih kurban atau telah membeli hewan kurban atau telah membeli binatang dengan niat dijadikan kurban, maka wajib baginya melaksanakan ibadah kurban, hendaklah ia menahan (diri dari memotong) rambut dan kuku-kukunya (binatang yang akan dikurbankan)” (HR. Jamaah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah).

2. Jumhur ulama yang terdiri dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum kurban adalah sunah mu’akkad dan makruh bagi orang yang mampu tetapi tidak melaksanakan kurban. Pendapatnya disandarkan pada hadis Rasulullah saw : “Apabila kamu melihat hilal (awal bulan) Zulhijah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menehan diri dari (memotong) bulu dan kuku (binatang kurban)-nya” (HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari). Menurut mereka, penyembelihan kurban dalam hadis ini dikaitkan dengan iradat. Sehingga keterkaitan tersebut menafikan kewajiban berkurban. Karenanya, bagi yang ingin berkurban boleh melakukannya dan hukumnya sunah. Sebaliknya, bagi orang yang tidak ingin melakukannya tidak dibebani dosa. Pendapat ini disandarkan pada hadis Nabi saw :

“Ada tiga hal yang wajib atasku dan sunah bagi kamu: salat witir, menyembelih kurban, dan salat duha” (HR. Ahmad bin Hanbal, al-Hakim, dan Daruqutni).

“Saya diperintahkan menyembelih kurban dank urban itu sunah bagi kamu” (HR. at-Tirmizi).

  Meskipun demikian, Mazhab Maliki memandang hukum sunah itu hanya berlaku bagi orang selain jamaah haji, sedangkan bagi jemaah haji hukum kurban adalah wajib menyembelih kurban di Mina. Sedang ulama Mazhab Maliki, di antaranya Ibnu Jazzi al-Kilabi (wafat 741) memandang hukum asal menyembelih kurban adalah sunah. Namun, hukum asal yang demikian dapat berubah menjadi wajib apabila seseorang bernazar untuk berkurban atau menyatakan akan melaksanakan kurban secara lisan serta didahului oleh adanya niat untuk melakukannya. Akan tetapi , pendapat Ibnu Jazzi al-Kilabi ini dibantah oleh as-Sadiq Muhammad Amin ad-Darir dan Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Urfah ad-Dasuqi (wafat 1230 H/1815 M), keduanya ulama Mazhab Maliki. Menurut mereka, hukum sunah itu hanya dapat berubah menjadi wajib apabila seseorang menyatakan akan menyembelih kurban yang disertai niat berkurban. Adapun bernazar untuk menyembelih kurban jika tidak diiringi dengan pernyataan lisan tidak mengubah hukum asal kurban.

  Sedang Mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa hukum menyembelih kurban adalah sunah bagi setiap individu sekali dalam seumur hidupnya, karena amr (perintah) di sini tidak menghendaki pengulangan (laa yaqtadii at-tikraar). Namun, mereka juga memandang sunah kifayah bagi setiap keluarga melakukannya sekali setahun pada Idul Adha sebagaimana sabda Nabi Saww :

“Hai manusia, kurban itu harus dilakukan oleh setiap keluarga setiap tahun” (HR. Ahmad bin Hanbal, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah).

  Bagi Mazhab Syafi’I dan Hanbali, berniat atau bernazar untuk menyembelih kurban tidak mengubah hokum asal kurban, yakni sunah mu’akkad. Perubahan itu terjadi apabila nazar atau niat tersebut dinyatakan dengan lisan. Namun bila seseorang mengatakan: “Insya Allah saya akan menyembelih kurban”, maka ucapan yang demikian tidak mengubah sunahnya hukum kurban.



Syarat Berkurban

  Para fukaha sepakat tentang syarat-syarat bagi orang yang melakukan kurban sebagai berikut :

1. Muslim.

2. Merdeka.

3. Baliq.

4. Berakal.

5. Penduduk tetap suatu wilayah.

6. Mempunyai kemampuan.

Para fukaha berbeda pendapat dalam memahami “mempunyai kemampuan” sebagai berikut :

1. Mazhab Hanafi, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah memiliki senisab zakat di luar kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarganya.

2. Mazhab Maliki, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah memiliki harta lebih dari kebutuhan primer dalam tahun itu.

3. Mazhab Syafi’i, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah seseorang dipandang mampu apabila memiliki harta seharga binatang kurban di luar kebutuhannya dan kebutuhan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.

4. Mazhab Hanbali, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah dengan kemungkinan mendapatkan seharga binatang kurban, sekalipun dalam bentuk utang, tetapi yang bersangkutan sanggup membayarnya.



Kualitas Hewan Kurban

  Adapun syarat-syarat kualitas hewan kurban secara sah sebagai berikut :

1. Tidak cacat, sebagaimana ditunjukkan hadis Nabi saw :

“Empat binatang yang tidak sah dijadikan kurban: rusak matanya, sakit, pincang, kurus yang tidak berdaya” (HR. Ahmad bin Hanbal).

2. Telah mencapai umur tertentu, berdasarkan hadis Nabi Saww :

“Janganlah kamu menyembelih untuk kurban melainkan yang telah berganti gigi, kecuali jika sukar didapatkan, maka boleh yang berumur satu tahun dari domba” (HR. Muslim).



Kuantitas Hewan untuk Pekurban

  Kuantitas hewan untuk pekurban telah ditentukan sebagaimana petunjuk hadis Nabi saw sebagai berikut :

1. Seekor unta, sapi atau kerbau berlaku untuk tujuh orang, berdasarkan hadis Nabi saw yang dikatakan Jabir bin Abdullah dari kaum Ansar sebagai berikut :

“Kami telah menyembelih kurban bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah, satu ekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang” (HR. Muslim).

2. Satu ekor domba atau kambing untuk satu orang dikiaskan kepada denda meninggalkan wajib haji.



Waktu Penyembelihan Hewan Kurban

  Dalam penyembelihan hewan kurban para fukaha berbeda pendapat dalam melihat ketentuan waktu tersebut sebagai berikut :

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa lama menyembelih kurban adalah selama tiga hari, mulai dari hari Idul Adha sampai tanggal 12 Zulhijah. Pendapat ini disandarkan pada ucapan tiga orang sahabat Nabi saw, yaitu Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, dan Ibnu Abbas, bahwa “Hari-hari kurban itu tiga hari, yang afdal ialah hari pertama”. Adapun awal waktu penyembelihan kurban adalah ketika terbit fajar pada hari Idul Adha sampai terbenam matahari pada tanggal 12 Zulhijah. Namun, makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan) hukumnya menyembelih hewan kurban di malam hari. Dan penyembelihan hewan kurban baru boleh dilakukan setelah selesai salat Idul Adha, sekalipun khotbah belum dibacakan. Dasar pendapatnya adalah hadis Nabi Saww : “Barangsiapa menyembelih kurban sebelum salai id, ia telah menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang menyembelih setelah salat id, maka ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan Islam” (HR.al-Bukhari).

2. Mazhab Maliki berpendapat bahwa lama menyembelih kurban adalah selama tiga hari seperti pendapat Mazhab Hanafi. Adapun awal waktunya adalah setelah imam salat id melakukan penyembelihan kurban lebih dahulu. Namun bila imam tidak melakukannya, maka penyembelihan hewan kurban dimulai setelah beberapa waktu yang diperkirakan dibutuhkannya untuk menyelesaikan penyembelihan kurban. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi saw memerintahkan menyembelih kurban setelah Rasulullah saw lebih dulu melaksanakan penyembelihan (HR. Ahmad bin Hanbal dan Muslim).

3. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa lama menyembelih hewan kurban selama empat hari yakni pada hari Idul Adha dan hari tasyrik. Alasannya berdasarkan sabda Nabi saw : “Sesungguhnya yang mula-mula kita lakukan pada hari ini (Idul Adha) ialah salat, kemudian pulang, lalu menyembelih kurban” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Daruqutni). Permulaan waktu penyembelihan hewan kurban, ketika telah berlalunya (kira-kira) waktu salat dua rakaat dan dua khotbah ringkas setelah matahari setinggi tombak pada Idul Adha. Alasannya berdasarkan hadis Nabi saw : “Siapa yang menyembelih kurban sebelum salat id berarti telah menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih setelah salat id maka telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan Islam” (HR. al-Bukhari). Adapun akhir waktunya ialah sebelum terbenam matahari pada tanggal 13 Zulhijah. Mereka juga berpendapat makruh hukumnya menyembelih kurban pada malam hari, karena takut tersalah dalam penyembelihan atau karena tidak ada orang miskin yang hadir pada penyembelihan itu.

4. Mazhab Hanbali, berpendapat bahwa lama menyembelih kurban adalah selama tiga hari, mulai dari hari Idul Adha sampai tanggal 12 Zulhijah (sama dengan Mazhab Hanafi dan Maliki). Tetapi dalam menentukan awal waktu penyembelihan hewan kurban, ketika telah berlalunya (kira-kira) waktu salat dua rakaat dan dua khotbah ringkas setelah matahari setinggi tombak pada Idul Adha (sama dengan Mazhab Syafi’i), dan mereka juga berpendapat makruh hukumnya menyembelih kurban pada malam hari. Rasulullah saw melarang penyembelihan pada malam hari. (HR. at-Tabrani dan al-Baihaki).



Hukum Daging Kurban

  Perbedaan pandangan tentang hokum daging kurban sebagai berikut :

1. Mazhab Hanafi memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah swt : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS.22: 36). Dan hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw membagi kurbannya atas tiga bagian: sepertiga untuk keluargana, sepertiga untuk tetangganya yang miskin, dan sepertiga untuk peminta-minta (HR. Hafiz Abu Musa al-Isfahani).

2. Mazhab Hanbali, memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin (sependapat dengan Mazhab Hanafi). Tetapi mereka memandang wajib bagi pemilik hewan kurban memakan sepertiga dari daging kurbannya, karena perintah yang terkandung dalam ayat di atas mengandung pengertian wajib. Kendati demikian, ulama Mazhab Hanbali membolehkan pemilik kurban memakan daging kurban lebih banyak dari itu.

3. Mazhab Maliki berpendapat bahwa daging kurban tidak perlu dibagi-bagi. Hadis-hadis yang menerangkan adanya pembagian itu semuanya bersifat mutlak, yang memerlukan perincian. Menurut mereka, Rasulullah saw sendiri tidak melarang memakan dan menyimpan daging kurban, tanpa memberikan kepada orang lain, seperti dalam sabdanya : “Saya melarang kamu menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, karena kepentingan sekelompok orang badui. Kemudian Allah memberikan kelapangan, maka simpanlah olehmu apa yang ada padamu” (HR. Muslim).

4. Mazhab Syafi’i, hukumnya wajib untuk disedekahkan kepada fakir miskin sebagian dari daging kurban sekalipun jumlahnya sedikit, sementara selebihnya diberikan kepada handai taulan, baik kaya maupun miskin, dan pemiliknya sendiri sunah memakannya sekedar sesuap. Dasarnya merujuk kepada firman Allah swt : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta” (QS.22: 36). “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS.22: 28). Dan berdasarkan hadis yang mengatakan bahwa, “Rasulullah saw biasa memakan hati binatang kurbannya” (HR.al-Baihaki).



Berkurban untuk Orang Lain

  Berkurban untuk orang lain terutama bagi orang yang telah meninggal, para fukaha berbeda pendapat sebagaimana berikut :

1. Mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa seseorang tidak boleh berkurban untuk orang lain kalau tanpa izin orang tersebut. Demikian pula, tidak boleh berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia tanpa ada wasiat darinya. Dasarnya firman Allah Swt : “Dan bahwasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS.53: 39). Tetapi bila ada wasiat untuk menyembelih hewan kurban, maka wajib memberikan seluruh daging kurbannya kepada fakir miskin, kecuali ada izin dari yang berwasiat.

2. Mazhab Maliki, berpendapat bahwa makruh hukumnya berkurban untuk orang yang telah meninggal tanpa pernyataannya sebelum meninggal. Kalau orang itu sebelum meninggal telah menyetakan niatnya, maka sunah bagi ahli waris berkurban untuknya.

3. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali, memandang tidak ada halangan berkurban untuk orang yang telah meninggal, sekalipun tanpa ada wasiatnya, karena orang yang telah meninggal lebih mengharapkan bantuan berupa doa dan sedekah dari saudaranya yang masih hidup. Pendapat ini disandarkan pada, “Rasulullah Saww sendiri pernah meletakkan pelepah-pelepah kurma basah di atas kuburan orang yang meninggal dunia dan menyatakan bahwa hal itu memberi manfaat kepadanya” (HR.al-Bukhari dan Muslim).


TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

Tidak ada komentar: