Laman

Sabtu, 14 November 2009

QURBAN................

QURBAN: Mendekat Kepada Allah,

Arti Etimologis Kurban

  Secara etimologis kata kurban berasal dari qurb atau qurban yang berarti dekat atau mendekat1. Kamus Besar Bahasa Indonesia, mengartikan kurban sebagai persembahan kepada Tuhan (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji)2. Dalam ilmu fikih, kurban juga disebut udhiah3 (menyembelih hewan di waktu matahari sedang naik di pagi hari) yang berasal dari kata dahwah atau duha (waktu matahari sedang naik di pagi hari). Dari kata dahwah atau duha tersebut diambil kata dahiyah yang jamaknya udhiah.


Arti Terminologi Kurban

  Kurban berarti penyembelihan hewan tertentu dengan niat mendekatkan diri kepada Allah saw pada waktu Idul Adha atau hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijah).



Sejarah Syariat Kurban

  Dalam perspektif Islam, awalnya berkurban merupakan syariat yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Hal tersebut dikabarkan dalam al-quran sebagai berikut :

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (QS.37: 107).

Kemudian Allah swt memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw untuk meneruskan syariat yang demikian setiap Idul Adha. Pelaksanaan kurban disyariatkan pada tahun kedua Hijrah, bersamaan dengan pensyariatan zakat serta salat Idul Fitri dan Idul Adha. Pensyariatan ibadah kurban didasarkan pada firman Allah swt dan hadis Nabi Muhammad saw sebagai berikut :

“Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS.108: 2).

“Dan telah Kami jadikan unta-unta itu sebagian dari syiar Allah …” (QS.22: 36).

“Barangsiapa yang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri tempat salat kami” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah).

“Tidak ada amal keturunan Adam yang lebih disukai Allah pada Hari Idul Adha selain menyembelih kurban. Sesungguhnya binatang itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, kuku, dan bulunya. Dan sesungguhnya darah kurban lebih dahulu tercurah karena Allah sebelum ia tercurah ke Bumi, yang membuat jiea menjadi senang” (HR. at-Tirmizi, Ibnu Majah, dan al-Hakim).

“Rasulullah saw sendiri senantiasa berkurban dengan dua ekor domba pada setiap Idul Adha, satu untuk dirinya dan satu lagi diniatkan bagi umatnya” (HR. Jamaah).



Hukum Kurban

Fukaha (ahli fikih) mempunyai pendapat yang berbeda-beda tentang hukum kurban sebagai berikut :.

1. Imam Abu Hanifah (mazhab Hanafi) berpendapat bahwa hukum kurban adalah wajib dilakukan satu kali dalam setahun. Pendapat tersebut didasarkan pada firman Allah swt : “Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah” (QS.108: 2), dan sabda Rasulullah saw : “Barang siapa yang telah mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah ia menghampiri tempat salat kami” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Ibnu Majah). Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya dalam memahami hadis tersebut memandang adanya ancaman berat dan perintah yang dikandungnya adalah perintah wajib. Seandainya perintah Rasulullah saw itu adalah perintah sunah, maka Nabi saw tidak akan menyebutkan ancaman yang demikian berat atas orang yang tidak melaksanakannya. Meskipun demikian, hukum wajib berkurban dapat berubah menjadi sunah (tatawwu’). Perubahan itu terjadi apabila pelakunya orang miskin yang tidak bernazar untuk menyembelih kurban dan tidak pula membeli hewan dengan niat kurban. Kalau orang miskin bernazar untuk menyembelih kurban atau telah membeli hewan kurban atau telah membeli binatang dengan niat dijadikan kurban, maka wajib baginya melaksanakan ibadah kurban, hendaklah ia menahan (diri dari memotong) rambut dan kuku-kukunya (binatang yang akan dikurbankan)” (HR. Jamaah kecuali Bukhari dari Ummu Salamah).

2. Jumhur ulama yang terdiri dari Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat bahwa hukum kurban adalah sunah mu’akkad dan makruh bagi orang yang mampu tetapi tidak melaksanakan kurban. Pendapatnya disandarkan pada hadis Rasulullah saw : “Apabila kamu melihat hilal (awal bulan) Zulhijah dan salah seorang di antara kamu ingin berkurban, maka hendaklah ia menehan diri dari (memotong) bulu dan kuku (binatang kurban)-nya” (HR. al-Jamaah kecuali al-Bukhari). Menurut mereka, penyembelihan kurban dalam hadis ini dikaitkan dengan iradat. Sehingga keterkaitan tersebut menafikan kewajiban berkurban. Karenanya, bagi yang ingin berkurban boleh melakukannya dan hukumnya sunah. Sebaliknya, bagi orang yang tidak ingin melakukannya tidak dibebani dosa. Pendapat ini disandarkan pada hadis Nabi saw :

“Ada tiga hal yang wajib atasku dan sunah bagi kamu: salat witir, menyembelih kurban, dan salat duha” (HR. Ahmad bin Hanbal, al-Hakim, dan Daruqutni).

“Saya diperintahkan menyembelih kurban dank urban itu sunah bagi kamu” (HR. at-Tirmizi).

  Meskipun demikian, Mazhab Maliki memandang hukum sunah itu hanya berlaku bagi orang selain jamaah haji, sedangkan bagi jemaah haji hukum kurban adalah wajib menyembelih kurban di Mina. Sedang ulama Mazhab Maliki, di antaranya Ibnu Jazzi al-Kilabi (wafat 741) memandang hukum asal menyembelih kurban adalah sunah. Namun, hukum asal yang demikian dapat berubah menjadi wajib apabila seseorang bernazar untuk berkurban atau menyatakan akan melaksanakan kurban secara lisan serta didahului oleh adanya niat untuk melakukannya. Akan tetapi , pendapat Ibnu Jazzi al-Kilabi ini dibantah oleh as-Sadiq Muhammad Amin ad-Darir dan Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin Urfah ad-Dasuqi (wafat 1230 H/1815 M), keduanya ulama Mazhab Maliki. Menurut mereka, hukum sunah itu hanya dapat berubah menjadi wajib apabila seseorang menyatakan akan menyembelih kurban yang disertai niat berkurban. Adapun bernazar untuk menyembelih kurban jika tidak diiringi dengan pernyataan lisan tidak mengubah hukum asal kurban.

  Sedang Mazhab Syafi’i menjelaskan bahwa hukum menyembelih kurban adalah sunah bagi setiap individu sekali dalam seumur hidupnya, karena amr (perintah) di sini tidak menghendaki pengulangan (laa yaqtadii at-tikraar). Namun, mereka juga memandang sunah kifayah bagi setiap keluarga melakukannya sekali setahun pada Idul Adha sebagaimana sabda Nabi Saww :

“Hai manusia, kurban itu harus dilakukan oleh setiap keluarga setiap tahun” (HR. Ahmad bin Hanbal, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah).

  Bagi Mazhab Syafi’I dan Hanbali, berniat atau bernazar untuk menyembelih kurban tidak mengubah hokum asal kurban, yakni sunah mu’akkad. Perubahan itu terjadi apabila nazar atau niat tersebut dinyatakan dengan lisan. Namun bila seseorang mengatakan: “Insya Allah saya akan menyembelih kurban”, maka ucapan yang demikian tidak mengubah sunahnya hukum kurban.



Syarat Berkurban

  Para fukaha sepakat tentang syarat-syarat bagi orang yang melakukan kurban sebagai berikut :

1. Muslim.

2. Merdeka.

3. Baliq.

4. Berakal.

5. Penduduk tetap suatu wilayah.

6. Mempunyai kemampuan.

Para fukaha berbeda pendapat dalam memahami “mempunyai kemampuan” sebagai berikut :

1. Mazhab Hanafi, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah memiliki senisab zakat di luar kebutuhan sandang, pangan, dan papan keluarganya.

2. Mazhab Maliki, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah memiliki harta lebih dari kebutuhan primer dalam tahun itu.

3. Mazhab Syafi’i, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah seseorang dipandang mampu apabila memiliki harta seharga binatang kurban di luar kebutuhannya dan kebutuhan orang yang berada di bawah tanggung jawabnya.

4. Mazhab Hanbali, mengartikan “mempunyai kemampuan” adalah dengan kemungkinan mendapatkan seharga binatang kurban, sekalipun dalam bentuk utang, tetapi yang bersangkutan sanggup membayarnya.



Kualitas Hewan Kurban

  Adapun syarat-syarat kualitas hewan kurban secara sah sebagai berikut :

1. Tidak cacat, sebagaimana ditunjukkan hadis Nabi saw :

“Empat binatang yang tidak sah dijadikan kurban: rusak matanya, sakit, pincang, kurus yang tidak berdaya” (HR. Ahmad bin Hanbal).

2. Telah mencapai umur tertentu, berdasarkan hadis Nabi Saww :

“Janganlah kamu menyembelih untuk kurban melainkan yang telah berganti gigi, kecuali jika sukar didapatkan, maka boleh yang berumur satu tahun dari domba” (HR. Muslim).



Kuantitas Hewan untuk Pekurban

  Kuantitas hewan untuk pekurban telah ditentukan sebagaimana petunjuk hadis Nabi saw sebagai berikut :

1. Seekor unta, sapi atau kerbau berlaku untuk tujuh orang, berdasarkan hadis Nabi saw yang dikatakan Jabir bin Abdullah dari kaum Ansar sebagai berikut :

“Kami telah menyembelih kurban bersama Rasulullah saw pada tahun Hudaibiyah, satu ekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang” (HR. Muslim).

2. Satu ekor domba atau kambing untuk satu orang dikiaskan kepada denda meninggalkan wajib haji.



Waktu Penyembelihan Hewan Kurban

  Dalam penyembelihan hewan kurban para fukaha berbeda pendapat dalam melihat ketentuan waktu tersebut sebagai berikut :

1. Mazhab Hanafi berpendapat bahwa lama menyembelih kurban adalah selama tiga hari, mulai dari hari Idul Adha sampai tanggal 12 Zulhijah. Pendapat ini disandarkan pada ucapan tiga orang sahabat Nabi saw, yaitu Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Talib, dan Ibnu Abbas, bahwa “Hari-hari kurban itu tiga hari, yang afdal ialah hari pertama”. Adapun awal waktu penyembelihan kurban adalah ketika terbit fajar pada hari Idul Adha sampai terbenam matahari pada tanggal 12 Zulhijah. Namun, makruh tanzih (lebih baik ditinggalkan daripada dikerjakan) hukumnya menyembelih hewan kurban di malam hari. Dan penyembelihan hewan kurban baru boleh dilakukan setelah selesai salat Idul Adha, sekalipun khotbah belum dibacakan. Dasar pendapatnya adalah hadis Nabi Saww : “Barangsiapa menyembelih kurban sebelum salai id, ia telah menyembelih untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang menyembelih setelah salat id, maka ia telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan Islam” (HR.al-Bukhari).

2. Mazhab Maliki berpendapat bahwa lama menyembelih kurban adalah selama tiga hari seperti pendapat Mazhab Hanafi. Adapun awal waktunya adalah setelah imam salat id melakukan penyembelihan kurban lebih dahulu. Namun bila imam tidak melakukannya, maka penyembelihan hewan kurban dimulai setelah beberapa waktu yang diperkirakan dibutuhkannya untuk menyelesaikan penyembelihan kurban. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi saw memerintahkan menyembelih kurban setelah Rasulullah saw lebih dulu melaksanakan penyembelihan (HR. Ahmad bin Hanbal dan Muslim).

3. Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa lama menyembelih hewan kurban selama empat hari yakni pada hari Idul Adha dan hari tasyrik. Alasannya berdasarkan sabda Nabi saw : “Sesungguhnya yang mula-mula kita lakukan pada hari ini (Idul Adha) ialah salat, kemudian pulang, lalu menyembelih kurban” (HR. Ahmad bin Hanbal dan Daruqutni). Permulaan waktu penyembelihan hewan kurban, ketika telah berlalunya (kira-kira) waktu salat dua rakaat dan dua khotbah ringkas setelah matahari setinggi tombak pada Idul Adha. Alasannya berdasarkan hadis Nabi saw : “Siapa yang menyembelih kurban sebelum salat id berarti telah menyembelih untuk dirinya sendiri dan siapa yang menyembelih setelah salat id maka telah menyempurnakan ibadahnya dan telah menjalani aturan Islam” (HR. al-Bukhari). Adapun akhir waktunya ialah sebelum terbenam matahari pada tanggal 13 Zulhijah. Mereka juga berpendapat makruh hukumnya menyembelih kurban pada malam hari, karena takut tersalah dalam penyembelihan atau karena tidak ada orang miskin yang hadir pada penyembelihan itu.

4. Mazhab Hanbali, berpendapat bahwa lama menyembelih kurban adalah selama tiga hari, mulai dari hari Idul Adha sampai tanggal 12 Zulhijah (sama dengan Mazhab Hanafi dan Maliki). Tetapi dalam menentukan awal waktu penyembelihan hewan kurban, ketika telah berlalunya (kira-kira) waktu salat dua rakaat dan dua khotbah ringkas setelah matahari setinggi tombak pada Idul Adha (sama dengan Mazhab Syafi’i), dan mereka juga berpendapat makruh hukumnya menyembelih kurban pada malam hari. Rasulullah saw melarang penyembelihan pada malam hari. (HR. at-Tabrani dan al-Baihaki).



Hukum Daging Kurban

  Perbedaan pandangan tentang hokum daging kurban sebagai berikut :

1. Mazhab Hanafi memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin. Pendapatnya ini didasarkan kepada firman Allah swt : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.” (QS.22: 36). Dan hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi saw membagi kurbannya atas tiga bagian: sepertiga untuk keluargana, sepertiga untuk tetangganya yang miskin, dan sepertiga untuk peminta-minta (HR. Hafiz Abu Musa al-Isfahani).

2. Mazhab Hanbali, memandang sunah daging hewan kurban itu dibagi tiga: sepertiga sunah dimakan oleh pemiliknya; sepertiga dihadiahkan untuk teman-teman akrab, sekalipun mereka orang kaya; sepertiga lagi disedekahkan kepada orang miskin (sependapat dengan Mazhab Hanafi). Tetapi mereka memandang wajib bagi pemilik hewan kurban memakan sepertiga dari daging kurbannya, karena perintah yang terkandung dalam ayat di atas mengandung pengertian wajib. Kendati demikian, ulama Mazhab Hanbali membolehkan pemilik kurban memakan daging kurban lebih banyak dari itu.

3. Mazhab Maliki berpendapat bahwa daging kurban tidak perlu dibagi-bagi. Hadis-hadis yang menerangkan adanya pembagian itu semuanya bersifat mutlak, yang memerlukan perincian. Menurut mereka, Rasulullah saw sendiri tidak melarang memakan dan menyimpan daging kurban, tanpa memberikan kepada orang lain, seperti dalam sabdanya : “Saya melarang kamu menyimpan daging kurban lebih dari tiga hari, karena kepentingan sekelompok orang badui. Kemudian Allah memberikan kelapangan, maka simpanlah olehmu apa yang ada padamu” (HR. Muslim).

4. Mazhab Syafi’i, hukumnya wajib untuk disedekahkan kepada fakir miskin sebagian dari daging kurban sekalipun jumlahnya sedikit, sementara selebihnya diberikan kepada handai taulan, baik kaya maupun miskin, dan pemiliknya sendiri sunah memakannya sekedar sesuap. Dasarnya merujuk kepada firman Allah swt : “Kemudian apabila telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta” (QS.22: 36). “Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir” (QS.22: 28). Dan berdasarkan hadis yang mengatakan bahwa, “Rasulullah saw biasa memakan hati binatang kurbannya” (HR.al-Baihaki).



Berkurban untuk Orang Lain

  Berkurban untuk orang lain terutama bagi orang yang telah meninggal, para fukaha berbeda pendapat sebagaimana berikut :

1. Mazhab Syafi’i, berpendapat bahwa seseorang tidak boleh berkurban untuk orang lain kalau tanpa izin orang tersebut. Demikian pula, tidak boleh berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia tanpa ada wasiat darinya. Dasarnya firman Allah Swt : “Dan bahwasanya seseorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (QS.53: 39). Tetapi bila ada wasiat untuk menyembelih hewan kurban, maka wajib memberikan seluruh daging kurbannya kepada fakir miskin, kecuali ada izin dari yang berwasiat.

2. Mazhab Maliki, berpendapat bahwa makruh hukumnya berkurban untuk orang yang telah meninggal tanpa pernyataannya sebelum meninggal. Kalau orang itu sebelum meninggal telah menyetakan niatnya, maka sunah bagi ahli waris berkurban untuknya.

3. Mazhab Hanafi dan Mazhab Hanbali, memandang tidak ada halangan berkurban untuk orang yang telah meninggal, sekalipun tanpa ada wasiatnya, karena orang yang telah meninggal lebih mengharapkan bantuan berupa doa dan sedekah dari saudaranya yang masih hidup. Pendapat ini disandarkan pada, “Rasulullah Saww sendiri pernah meletakkan pelepah-pelepah kurma basah di atas kuburan orang yang meninggal dunia dan menyatakan bahwa hal itu memberi manfaat kepadanya” (HR.al-Bukhari dan Muslim).


TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

HUKUM QURBAN

Hukum-hukum Qurban
Pengertian Qurban

Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata : qaruba (fi'il madhi) - yaqrabu (fi'il mudhari') - qurban wa qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).

Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 - 10.00 (Ash Shan'ani, Subulus Salam IV/89).

Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al Jabari, 1994).
Hukum Qurban

Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy Syafi'i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata, "Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji." (Matdawam, 1984)

Sebagian mujtahidin -seperti Abu Hanifah, Al Laits, Al Auza'i, dan sebagian pengikut Imam Malik- mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).

Ukuran "mampu" berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) -yaitu sandang, pangan, dan papan-- dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al Jabari, 1994)

Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT :
"Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah." (TQS Al Kautsar : 2)
"Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah." (HR. At Tirmidzi)
"Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian." (HR. Ad Daruquthni)

Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi "wanhar" (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi'li). Sedang hadits At Tirmidzi, "umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum" (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni "kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum" (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi'li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa'i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).

Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW :

"Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami." (HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91)

Perkataan Nabi "fa laa yaqrabanna musholaanaa" (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang -yang tak berqurban padahal mampu-- untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii') seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).

Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW :

"Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya." (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157).

Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata, "Ini milik Allah," atau "Ini binatang qurban." (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Keutamaan Qurban

Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :

"Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban." (HR. At Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)

Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat, "Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama." (Al Jabari, 1994).

Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW :

"Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan.. ." (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165)
Waktu dan Tempat Qurban
a. Waktu

Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW :

"Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam." (HR. Bukhari)

Sabda Nabi SAW :

"Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban." (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy Syafi'i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).

Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
b. Tempat

Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).
Hewan Qurban
a. Jenis Hewan

Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah : unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994). Allah SWT berfirman :

"...supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an'am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka." (TQS Al Hajj : 34)

Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an'aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al Jabari, 1994).

Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.
b. Jenis Kelamin

Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
c. Umur

Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).
d. Kondisi

Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa'i et.al, 1978)

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan :
yang nyata-nyata buta sebelah,
yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
yang nyata-nyata pincang jalannya,
yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
yang tidak ada sebagian tanduknya,
yang tidak ada sebagian kupingnya,
yang terpotong hidungnya,
yang pendek ekornya (karena terpotong/putus) ,
yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq. 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu'ain) (HR. Ahmad dan Tirmidzi) (Abdurrahman, 1990)
Qurban Sendiri dan Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.

Jika murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban? Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a'lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.

Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW :

"Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, An Nasa`i, dan Ibnu Majah)
Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut :
Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa "Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii'ul ‘aliim." (Artinya : Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.
Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : "Bismillaahi Allaahu akbar." (Artinya : Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir "Allahu akbar!")
Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu : "Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min ..." (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari....) (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa'i et.al., 1978; Rasjid, 1990)

Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al Jabari, 1994).

Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi'i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al Jabari, 1994).
Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih. Telah diterangkan sebelumnya.
Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan (HR. Bukhari dan Muslim).
Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
Pemanfaatan Daging Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut ? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda :

"Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah." (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi, hadits shahih)

Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu : makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).

Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al Jabari, 1994; Rifa'i et.al, 1978).

Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984)

Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/tempat dari tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).

Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim (Al Jabari, 1994).

Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA :

"...(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban)." (HR. Bukhari dan Muslim) (Al Jabari, 1994)

Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al Jabari, 19984).

Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW :

"Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya.. ." (HR. Ahmad) (Matdawam, 1984).

Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al Hasan, dan Al Auza'i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata,"Subhanallah ! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah ?" (Al Jabari, 1994).

Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab -menurut pemahaman kami-- larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, dan sebagainya.
Penutup

Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting : hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta'ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman :

"Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya." (TQS Al Hajj : 37)

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

HAL YANG WAJIB DIKETAHUI


BAB FIL ‘AQIDAH

Yaitu simpulan hati, ini suatu bab kumpulan perkataan pada menyatakn ‘itiqad ya’ni simpulan hati bagi Zat Allah Ta’ala dan segala shifatNya dan shifat segala rasulNya. Dan wajib atas tiap2 orang yang ‘aqil baligh masuk ia di dalam agama islam dan tetap ia di dalamnya atas berkejalan selama-lama dan melazimkan dirinya barang yang lazim atasnya daripada segala hukumnya. Maka setengah daripadanya barang yang wajib atas segala yang ‘aqil baligh, mengetahui akandia dan meng’i’tiqadkan dia dan mengucap ia dengan dia pada sekarang itu jua. Jika ada ia orang islam maka wajib mengucap di dalam tahyat akhir pada sembahyang akan dua kalimat syahadat dengan segala syaratnya dan ma’nanya.

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

Sabtu, 17 Oktober 2009

CUKUPLAH KEMATIAN SEBAGAI PELARAN DAN NASEHAT



“Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi)
Berbahagialah hamba-hamba Allah yang senantiasa bercermin dari kematian. Tak ubahnya seperti guru yang baik, kematian memberikan banyak pelajaran, membingkai makna hidup, bahkan mengawasi alur kehidupan agar tak lari menyimpang. Nilai-nilai pelajaran yang ingin diungkapkan guru kematian begitu banyak, menarik, bahkan menenteramkan. Di antaranya adalah apa yang mungkin sering kita rasakan dan lakukan.
Kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga Tak ada sesuatu pun buat seorang mukmin yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu berapa lama lagi jatah waktu pentasnya di dunia ini akan berakhir. Sebagaimana tak seorang pun tahu di mana kematian akan menjemputnya. Ketika seorang manusia melalaikan nilai waktu pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya kepada jurang kebinasaan. Karena tak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat. Allah swt mengingatkan itu dalam surah Al-Anbiya ayat 1,
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya) .”
Ketika jatah waktu terhamburkan sia-sia, dan ajal sudah di depan mata. Tiba-tiba, lisan tergerak untuk mengatakan, “Ya Allah, mundurkan ajalku sedetik saja. Akan kugunakan itu untuk bertaubat dan mengejar ketinggalan.” Tapi sayang, permohonan tinggallah permohonan. Dan, kematian akan tetap datang tanpa ada perundingan.Allah swt berfirman dalam surah Ibrahim ayat 44,
“Dan berikanlah peringatan kepada manusia terhadap hari (yang pada waktu itu) datang azab kepada mereka, maka berkatalah orang-orang zalim: ‘Ya Tuhan kami, beri tangguhlah kami walaupun dalam waktu yang sedikit, niscaya kami akan mematuhi seruan Engkau dan akan mengikuti rasul-rasul….”
**
Kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa
Kalau kehidupan dunia bisa diumpamakan dengan pentas sandiwara, maka kematian adalah akhir segala peran. Apa pun dan siapa pun peran yang telahdimainkan, ketika sutradara mengatakan ‘habis’, usai sudah permainan. Semua kembali kepada peran yang sebenarnya. Lalu, masih kurang patutkah kita dikatakan orang gila ketika bersikeras akan tetap selamanya menjadi tokoh yang kita perankan. Hingga kapan pun. Padahal, sandiwara sudah berakhir.
Sebagus-bagusnya peran yang kita mainkan, tak akan pernah melekat selamanya. Silakan kita bangga ketika dapat peran sebagai orang kaya. Silakan kita menangis ketika berperan sebagai orang miskin yang menderita. Tapi, bangga dan menangis itu bukan untuk selamanya. Semuanya akan berakhir. Dan, peran-peran itu akan dikembalikan kepada sang sutradara untuk dimasukkan kedalam laci-laci peran. Teramat naif kalau ada manusia yang berbangga dan yakin bahwa dia akan menjadi orang yang kaya dan berkuasa selamanya. Pun begitu, teramat naif kalau ada manusia yang merasa akan terus menderita selamanya. Semua berawal, dan juga akan berakhir. Dan akhir itu semua adalah kematian.
**
Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa
Fikih Islam menggariskan kita bahwa tak ada satu benda pun yang boleh ikut masuk ke liang lahat kecuali kain kafan. Siapa pun dia. Kaya atau miskin. Penguasa atau rakyat jelata Semuanya akan masuk lubang kubur bersama bungkusan kain kafan. Cuma kain kafan itu. Itu pun masih bagus. Karena, kita terlahir dengan tidak membawa apa-apa. Cuma tubuh kecil yang telanjang. Lalu, masih layakkah kita mengatasnamakan kesuksesan diri ketika kita meraih keberhasilan. Masih patutkah kita membangga-banggakan harta dengan sebutan kepemilikan. Kita datang dengan tidak membawa apa-apa dan pergi pun bersama sesuatu yang tak berharga.
Ternyata, semua hanya peran. Dan pemilik sebenarnya hanya Allah. Ketika peran usai, kepemilikan pun kembali kepada Allah. Lalu, dengan keadaan seperti itu, masihkah kita menyangkal bahwa kita bukan apa-apa. Dan, bukan siapa-siapa. Kecuali, hanya hamba Allah. Setelah itu, kehidupan pun berlalu melupakan peran yang pernah kita mainkan.
**
Kematian mengingatkan bahwa hidup sementara
Kejayaan dan kesuksesan kadang menghanyutkan anak manusia kepada sebuah khayalan bahwa ia akan hidup selamanya. Hingga kapan pun. Seolah ia ingin menyatakan kepada dunia bahwa tak satu pun yang mampu memisahkan antara dirinya dengan kenikmatan saat ini.Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, barulah ia tersadar. Bahwa, segalanya akan berpisah. Dan pemisah kenikmatan itu bernama kematian. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir.
**
Kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga
Seorang hamba Allah yang mengingat kematian akan senantiasa tersadar bahwa hidup teramat berharga. Hidup tak ubahnya seperti ladang pinjaman. Seorang petani yang cerdas akan memanfaatkan ladang itu dengan menanam tumbuhan yang berharga. Dengan sungguh-sungguh. Petani itu khawatir, ia tidak mendapat apa-apa ketika ladang harus dikembalikan. Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77,
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia…”
dengan menyebut, “Ad-Dun-ya mazra’atul akhirah.” (Dunia adalah ladang buat akhirat)
Orang yang mencintai sesuatu takkan melewatkan sedetik pun waktunya untuk mengingat sesuatu itu. Termasuk, ketika kematian menjadi sesuatu yang paling diingat. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan.


TERIMA KASIH ANDA TELAH BERSAMA KAMI

Sabtu, 10 Oktober 2009

NAMA-NAMA THARIQAT ( TAREKAT )

Jumlah Tarekat sangat banyak, akan tetapi yang memiliki anggota yang cukup banyak tersebar di banyak negara di seluruh dunia sampai kini ada tujuh, yaitu:

1. Tarekat Khalawatiyah
2. Tarekat Naqsyabandiyah
3. Tarekat Qadiriyah
4. Tarekat Rifa’yah
5. Tarekat Sammaniyah
6. Tarekat Syaziliyah
7. Tarekat Tijaniyah


1. Tarekat Khalawatiyah

Cabang dari Tarekat Aqidah Suhrardiyah yang didirikan di Baghdat oleh Abdul Qadir Suhrawardi dan Umar Suhrawardi. Mereka menamakan diri golongan Siddiqiyah karena mengklaim sebagai keturunan kahlifah Abu Bakar r.a. Khalawatiyah ini didirikan di Khurasan oleh Zahiruddin dan berhasil berkembang sampai ke Turki. Tidak mengherankan jika Tarekat Khalawatiyah ini banyak cabangnya antara lain; Tarekat Dhaifiyah di Mesir dan di Somalia dengan nama Salihiyah.

Tarekat Khalawatiyah ini membagi manusia menjadi tujuh tingkatan:

a. Manusia yang berada dalam nafsul ammarah
Mereka yang jahil, kikir, angkuh, sombong, pemarah, gemar kepada kejahatan, dipengaruhi syahwat dan sifat-sifat tercela lainnya. Mereka ini bisa membebaskan diri dari semua sifat-sifat tidak terpuji tersebut dengan jalan memperbanyak zikir kepada Allah SWT dan mengurangi makan-minum.
Maqam mereka adalah aghyar, artinya kegelap-gulitaan.

b. Manusia yang berada dalam nafsul lawwamah
Mereka yang gemar dalam mujahaddah (meninggalkan perbuatan buruk) dan berbuat saleh, namun masih suka bermegah-megahan dan suka pamer. Cara untuk melenyapkan sifat-sifat buruk tersebut adalah mengurangi makan-minum, mengurangi tidur, mengurangi bicara, sering menyendiri dan memperbanyak zikir serta berpikir yang baik-baik.
Maqam mereka adalah anwar, artinya cahaya yang bersinar.

c. Manusia yang berada dalam nafsul mulhamah
Mereka yang kuat mujahaddah dan tajrid, karena ia telah menemui isyarat-isyarat tauhid, namun belum mampu melepaskan diri dari hukum-hukum manusia. Cara untuk melepaskan kekurangannya adalah dengan jalan menyibukkan batinnya dalam Hakikat Iman dan menyibukkan diri dalam Syari’at Islam.
Maqam mereka adalah kamal, artinya kesempurnaan.

d. Manusia yang berada dalam nafsul muthma’innah
Mereka yang tidak sedikit pun meninggalkan ajaran Islam, mereka merasa nyaman jika berakhlak seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan merasa belum tentram hatinya jika belum mengikuti petunjuk dan sabda Beliau.
Manusia seperti ini sangat menyenangkan siapa pun yang melihatnya dan mengajaknya berbicara.

e. Manusia yang berada dalam nafsul radhiyah
Mereka yang sudah tidak menggantungkan diri kepada sesama manusia, melainkan hanya kepada Allah SWT. Mereka umumnya sudah melepaskan sifat-sifat manusia biasa.
Maqam mereka adalah wisal, artinya sampai dan berhubungan.

f. Manusia yang berada dalam nafsul mardhiyah
Mereka yang telah berhasil meleburkan dirinya ke dalam kecintaan khalik dan khalak, tidak ada penyelewengan dalam syuhudnya. Ia menepati segala janji Tuhan dan meletakkan segala sesuatu pada tempatnya.
Maqam mereka adalah tajalli af’al, artinya kelihatan Tuhan.

g. Manusia yang berada dalam nafsul kamillah
Mereka yang dalam beribadah menyertakan badannya, lidahnya, hatinya dan anggota-anggota tubuhnya yang lain. Mereka ini banyak beristighfar, banyak ber-tawadhu’ (rendah hati atau tidak suka menyombongkan diri). Kesenangan dan kegemarannya adalah dalam tawajjuh khalak.
Maqam mereka adalah tajalli sifat, artinya tampak nyata segala sifat Tuhan.


2. Tarekat Naqsyabandiyah

Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah ialah Muhammad bin Baha’uddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717-791 H). Ulama sufi yang lahir di desa Hinduwan – kemudian terkenal dengan Arifan, beberapa kilometer dari Bukhara. Pendiri Tarekat Naqsyabandiyah ini juga dikenal dengan nama Naqsyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan gambaran kehidupan yang ghaib-ghaib. Kata ‘Uwais’ ada pada namanya, karena ia ada hubungan nenek dengan Uwais Al-Qarni, lalu mendapat pendidikan kerohanian dari wali besar Abdul Khalik Al-Khujdawani yang juga murid Uwais dan menimba ilmu Tasawuf kepada ulama yang ternama kala itu, Muhammad Baba Al-Sammasi.

Tarekat Naqsyabandiyah mengajarkan zikir-zikir yang sangat sederhana, namun lebih mengutamakan zikir dalam hati daripada zikir dengan lisan.

Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Tarekat ini, yaitu:

a. Tobat

b. Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia tidak mampu memperbaikinya)

c. Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja)

d. Taqwa

e. Qanaah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT)

f. Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah)

Hukum yang dijadikan pegangan dalam Tarekat Naqsyabandiyah ini juga ada enam, yaitu:

a. Zikir

b. Meninggalkan hawa nafsu

c. Meninggalkan kesenangan duniawi

d. Melaksanakan segenap ajaran agama dengan sungguh-sungguh

e. Senantiasa berbuat baik (ihsan) kepada makhluk Allah SWT

f. Mengerjakan amal kebaikan


3. Tarekat Qadiriyah

Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Sebagaimana Tarekat yang lain, Qadiriyah juga memiliki dan mengamalkan zikir dan wirid tertentu.

Sejak kecil, Syeikh Abdul Qadir telah menunjukkan tanda-tanda sebagai Waliyullah yang besar. Ia adalah anak yang sangat berbakti pada orang tua, jujur, gemar belajar dan beramal serta menyayangi fakir miskin dan selalu menjauhi hal0hal yang bersifat maksiat. Ia memang lahir dan dididik dalam keluarga yang taat karena ibunya yang bernama Fatimah dan kakeknya Abdullah Sum’i adalah wali Allah SWT.

Syeikh Abdul Qadir Jailani dikaruniai oleh Allah SWT keramat sejak masih muda, sekitar usia 18 tahun. Dikisahkan dalam manaqib (biografi) beliau bahwa ketika ia akan membajak sawah, sapi yang menarik bajak mengatakan kepadanya, “Engkau dilahirkan ke dunia bukan untuk kerja begini.” Peristiwa yang mengejutkan ini mendorongnya untuk bergegas pulang. Ketika ia naik ke aatas atap rumah, mata batinnya melihat dengan jelas suatu majelis yang sangat besar di Padang Arafah. Setelah itu ia memohojn kepada ibunya agar membaktikan dirinya kepada Allah SWT dan berkenan mengirimkannya ke kota Baghdad yang kala itu menjadi pusat ilmu pengetahuan yang terkenal bagi kaum muslimin. Dengan sangat berat hati ibunya pun mengabulkannya.

Suatu hari bergabunglah Abdul Qadir Jailani dengan kafilah yang menuju Baghdad. Ketika hampir sampai di tujuan, kafilah ini dikepung oleh sekawanan perampok. Semua harta benda milik kafilah dirampas, kecuali bekal yang dibawa oleh Abdul Qadir Jailani. Salah seorang kawanan perampok kemudian mendatanginya dan bertanya, “Apa yang engkau bawa?” Dengan jujur Abdul Qadir Jailani menjawab, “Uang empat puluh dinar.”

Perampok itu membawa Abdul Qadir Jailani menghadap pimpinannya dan menceritakan tentang uang empat puluh dinar. Pemimpin perampok itu pun segera meminta uang yang empat puluh dinar tadi, namun ia merasa terpesona oleh kepribadian Abdul Qadir Jailani. “Mengapa engkau berkata jujur tentang uang ini?” Dengan tenang Abdul Qadir Jailani, “Saya telah berjanji kepada ibu untuk tidak berbohong kepada siapapun dan dalam keadaan apapun.

Seketika pemimpin perampok tersebut terperangah, sejenak kemudian ia menangis dan menyesali segala perbuatan zalimnya. “Mengapa saya berani terus-menerus melanggar peraturan Tuhan, sedangkan pemuda ini melanggar janji pada ibunya sendiri saja tidak berani.” Ia kemudian memerintahkan semua barang rampasan kepada pemiliknya masing-masing dan sejak itu berjanji untuk mencari rezeki dengan jalan yang halal.

Semasa Abdul Qadir Jailani masih hidup, Tarekat Qadiriyah sudah berkembang ke beberapa penjuru dunia, antara lain ke Yaman yang disiarkan oleh Ali bin Al-Haddad, di Syiria oleh Muhammad Batha’, di Mesir oleh Muhammad bin Abdus Samad serta di Maroko, Turkestan dan India yang dilakukan oleh anak-anaknya sendiri. Mereka sangat berjasa dalam menyempurnakan Tarekat Qadiriyah. Mereka pula yang menjadikan tarekat ini sebagai gerakan yang mengumpulkan dan menyalurkan dana untuk keperluan amal sosial.


4. Tarekat Rifa’yah

Pendirinya Tarekat Rifaiyah adalah Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifai. Ia lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah pada tahun 500 H (1106 M), sedangkan sumber lain mengatakan ia lahir pada tahun 512 H (1118 M). Sewaktu Ahmad berusia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia. Ia lalu diasuh pamannya, Mansur Al-Batha’ihi, seorang syeikh Trarekat. Selain menuntut ilmu pada pamannya tersebut ia juga berguru pada pamannya yang lain, Abu Al-Fadl Ali Al Wasiti, terutama tentang Mazhab Fiqh Imam Syafi’i. Dalam usia 21 tahun, ia telah berhasil memperoleh ijazah dari pamannya dan khirqah 9 sebagai pertanda sudah mendapat wewenang untuk mengajar.

Ciri khas Tarekat Rifaiyah ini adalah pelaksanaan zikirnya yang dilakukan bersama-sama diiringi oleh suara gendang yang bertalu-talu. Zikir tersebut dilakukannya sampai mencapai suatu keadaan dimana mereka dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang menakjubkan, antara lain berguling-guling dalam bara api, namun tidak terbakar sedikit pun dan tidak mempan oleh senjata tajam.


5. Tarekat Sammaniyah

Kemunculan Tarekat Sammaniyah bermula dari kegiatan Syeikh Muhammad Saman, seorang guru masyhur yang mengajarkan Tarekat di Madinah. Banyak orang Indonesia terutama dari Aceh yang pergi ke sana mengikuti pengajarannya. Oleh sebab itu tidak mengherankan jika Tarekat ini tersebar luas di Aceh dan terkenal dengan nama Tarekat Sammaniyah.

Sebagaimana guru-guru besar Tasawuf, Syeikh Muhammad Saman terkenal akan kesalehan, kezuhudan dan kekeramatannya. Salah satu keramatnya adalah ketika Abdullah Al-Basri – karena melakukan kesalahan – dipenjarakan di Mekkah dengan kaki dan leher di rantai. Dalam keadaan yang tersiksa, Al-Basri menyebut nama Syeikh Muhammad Saman tiga kali, seketika terlepaslah rantai yang melilitnya. Kepada seorang murid Syeikh Muhammad Saman yang melihat kejadian tersebut, Al-Basri menceritakan, “kulihat Syeikh Muhammad Saman berdiri di depanku dan marah. Ketika kupandang wajahnya, tersungkurlah aku pingsan. Setelah siuman, kulihat rantai yang melilitku telah terputus.”

Perihal awal kegiatan Syeikh Muhammad Saman dalam Tarekat dan Hakikat, menurut Kitab Manaqib Tuan Syeikh Muhammad Saman, adalah sejak pertemuannya dengan Syeikh Abdul Qadir Jailani. Kisahnya, di suatu ketika Syeikh Muhammad Saman berkhalwat (bertapa) di suatu tempat dengan memakai pakaian yang indah-indah. Pada waktu itu datang Syeikh Abdul Qadir Jailani membawakan pakaian jubah putih. “Ini pakaian yang cocok untukmu.” Ia kemudian memerintahkan Syeikh Muhammad Saman agar melepas pakaiannya dan mengenakan jubah putih yang dibawanya. Konon semula Syeikh Muhammad Saman menutup-nutupi ilmunya sampai datanglah perintah dari Rasulullah SAW menyebarkannya dalam kota Madinah.

Tarekat Sammaniyah juga mewiridkan bacaan zikir yang biasanya dilakukan secara bersama-sama pada Malam Jum’at di masjid-masjid atau mushalla sampai jauh tengah malam. Selain itu ibadah yang diamalkan oleh Syeikh Muhammad Saman yang diikuti oleh murid-muridnya sebagai Tarekat antara lain adalah shalat sunnah Asyraq dua raka’at, shalat sunnah Dhuha dua belas raka’at, memperbanyak riadhah (melatih diri lahir batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT) dan menjauhkan diri dari kesenangan duniawi.


6. Tarekat Syaziliyah

Pendiri Tarekat Syaziliyah adalah Abdul Hasan Ali Asy-Syazili, seorang ulama dan sufi besar. Menurut silsilahnya, ia masih keturunan Hasan, putra Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Rasulullah SAW. Ia dilahirkan pada 573 H di suatu desa kecil di kawasan Maghribi. Tentang arti kata “Syazili” pada namanya yang banyak dipertanyakan orang kepadanya, konon ia pernah menanyakannya kepada Tuhan dan Tuhan pun memberikan jawaban, “Ya Ali, Aku tidak memberimu nama Syazili, melainkan Syazz yang berarti jarang karena keistimewaanmu dalam berkhidmat kepada-Ku.

Ali Syazili terkenal sangat saleh dan alim, tutur katanya enak didengar dan mengandung kedalaman makna. Bahkan bentuk tubuh dan wajahnya, menurut orang-orang yang mengenalnya, konon mencerminkan keimanan dan keikhlasan. Sifat-sifat salehnya telah tampak sejak ia masih kecil. Apalagi setelah ia berguru pada dua ulama besar – Abu Abdullah bin Harazima dan Abdullah Abdussalam ibn Masjisy – yang sangat meneladani khalifah Abu Bakar dan Ali bin Abu Thalib.

Dalam jajaran sufi, Ali Syazili dianggap seorang wali yang keramat. Dalam sebuah riwayat dikisahkan bahwa ia pernah mendatangi seorang guru untuk mempelajari suatu ilmu. Tanpa basa-basi sang guru mengatakan kepadanya, “Engkau mendapatkan ilmu dan petunjuk beramal dariku? Ketahuilah, sesungguhnya engkau adalah salah seorang guru ilmu-ilmu tentang dunia dan ilmu-ilmu tentang akhirat yang terbesar.” Kemudian pada suatu waktu, ketika ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurunya, seketika ada seorang anak kecil datang kepadanya, “Mengapa engkau ingin menanyakan tentang Ismul A’zam kepada gurumu? Bukankah engkau tahu bahwa Ismul A’zam itu adalah engkau sendiri?”

Tarekat Syaziliyah merupakan Tarekat yang paling mudah pengamalannya. Dengan kata lain tidak membebani syarat-syarat yang berat kepada Syeikh Tarekat. Kepada mereka diharuskan:

a. Meninggalkan segala perbuatan maksiat.

b. Memelihara segala ibadah wajib, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadhan dan lain-lain.

c. Menunaikan ibadah-ibadah sunnah semampunya.

d. Zikir kepada Allah SWT sebanyak mungkin atau minimal seribu kali dalam sehari semalam dan beristighfar sebanyak seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.

e. Membaca shalawat minimal seratus kali sehari-semalam dan zikir-zikir yang lain.


7. Tarekat Tijaniyah

Pendiri Tarekat Tijaniyah ialah Abdul Abbas bin Muhammad bin Muchtar At-Tijani (1737-1738), seorang ulama Algeria yang lahir di ‘Ain Mahdi. Menurut sebuah riwayat, dari pihak bapaknya ia masih keturunan Hasan bin Ali bin Abu Thalib. Keistimewaannya adalah pada saat ia berumur tujuh tahun, Konon Tijani sudah menghapal Alqur’an, kemudian mempelajari pengetahuan Islam yang lain, sehingga ia menjadi guru dalam usia belia.

Ketika naik haji di Madinah, Tijani berkenalan dengan Muhammad bin Abdul Karim As-Samman, pendiri Tarekat Sammaniyah. Setelah itu ia mulai mempelajari ilmu-ilmu rahasia batin. Gurunya yang lain dalam bidang Tarekat ini ialah Abu Samghun As-Shalasah. Dari sinilah pandangan batinnya mulai terasah. Bahkan konon dalam keadaan terjaga ia bertemu Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan kepadanya beberapa wirid, istighfar dan shalawat yang masing-masing harus diucapkan seratus kali dalam sehari semalam. Selain itu Nabi Muhammad SAW juga memerintahkan agar Tijani mengajarkan wirid-wirid tersebut kepada semua orang yang menghendakinya.

Wirid-wirid yang harus diamalkan dalam Tarekat Tijaniyah sangat sederhana, yaitu terdiri dari istighfar seratus kali, shalawat seratus kali dan tahlil seratus kali. Semua wirid tersebut boleh diamalkan dua waktu sehari yaitu pagi setelah Shalat Shubuh dan sore setelah Shalat Ashar.
________________________________________

Sumber Tulisan:
• Syamsul Rijal Hamid, Buku Pintar Agama Islam; Edisi Senior, Cetakan VIII, Penebar Salam, Jakarta, September 2000
• Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat; Kajian Historis tentang Mistik, Cetakan IX, Ramadhani, Solo, 1993

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

MENGENAL ULAMA SHUFI


TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

Jumat, 09 Oktober 2009

KITAB KUNING DIGITAL

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

DZIKIR DAN DOA SESUDAH SHALAT

Dzikir dan Doa Setelah Sholat
Dari Kitab Al-Adzkar Al-Nawawi

أجمع العلماءُ على استحباب الذكر بعد الصلاة، وجاءت فيه أحاديث كثيرة صحيحة في أنواع منه متعدّدة، فنذكرُ أطرافاً من أهمها:‏
• روينا في كتاب الترمذي عن أبي أمامة رضي اللّه عنه قال:
• قيل لرسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: أيّ الدعاء أسمع؟ قال: "جَوْفُ اللَّيْلِ الآخِر، وَدُبُرُ الصَّلَوَاتِ المَكْتوبات" قال الترمذي: حديث حسن
• وروينا في صحيحي البخاري ومسلم، عن ابن عباس رضي اللّه عنهما قال:
• كنتُ أعرفُ انقضاء صلاة رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم بالتكبير. وفي رواية مسلم "كنّا" وفي رواية في صحيحيهما عن ابن عباس رضي اللّه عنهما: أن رفعَ الصوت بالذكر حين ينصرفُ النَّاسُ من المكتوبة كانَ على عهدِ رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم. وقال ابن عباس: كنتُ أعلمُ إذا انصرفوا، بذلك، إذا سمعتُه.‏
• وروينا في صحيح مسلم عن ثوبان رضي اللّه عنه قال:
• كان رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم إذا انصرف من صلاته استغفر ثلاثاً وقال: اللَّهُمَّ أنْتَ السَّلامُ وَمِنْكَ السَّلامُ، تَبارَكْتَ يا ذَا الجَلالِ وَالإِكْرامِ" قيل للأوزاعي وهو أحد رواة الحديث: كيف الاستغفار؟ قال: اسْتَغْفِرُ اللَّهَ، أسْتَغْفِرُ اللَّهَ.‏
• وروينا في صحيحي البخاري ومسلم، عن المغيرة بن شعبة رضي اللّه عنه:
• أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم كان إذا فرغ من الصلاة وسلّم قال: "لا إلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ على كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ؛ اللَّهُمَّ لا مانِعَ لِمَا أعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلا يَنْفَعُ ذَا الجَدِّ مِنْكَ الجَدُّ".‏
• وروينا في صحيح مسلم، عن عبد اللّه بن الزبير رضي اللّه عنهما
• أنه كان يقول دُبُرَ كلّ صلاة حين يسلم: "لا إلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحدَهُ لا شَريكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَة كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لا حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ باللّه، لا إِلهَ إِلاَّ اللّه وَلاَ نَعْبُدُ إِلاَّ إيَّاهُ، لَهُ النِّعْمَةُ ولَهُ الفَضْلُ، وَلَهُ الثَّناءُ الحَسَنُ، لا إلهَ إِلاَّ اللّه مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ وَلَوْ كَرِهَ الكافِرُونَ" قال ابن الزبير: وكان رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يهلّل بهنّ دُبُرَ كُلِّ صلاة.‏
• وروينا في صحيحي البخاري ومسلم، عن أبي هريرة رضي اللّه عنه:
• أن فقراء المهاجرين أتوا رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم فقالوا: ذهبَ أهل الدُّثُور بالدرجات العُلى والنعيم المقيم، يُصَلُّون كما نُصلِّي، ويصومون كما نصوم، ولهم فضل من أموال يحجّون بها ويعتمرون ويجاهدون ويتصدّقون، فقال: "ألا أُعَلِّمُكُمْ شَيْئاً تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُـِمْ، وَلاَ يَكُونُ أحَدٌ أفْضَلَ مِنْكُمْ إِلاَّ مَنْ صَنَع مِثْلَ ما صَنَعْتُمْ؟ قالوا: بلى يارسول اللّه! قال: تُسَبِّحُونَ وَتَحْمَدُونَ وَتُكَبِّرُونَ خَلْفَ كُلّ صَلاةٍ ثَلاثاً وَثَلاثينَ".
• قال أبو صالح الراوي عن أبي هريرة لما سئل عن كيفية ذكره؟ يقول: سبحان اللَّه والحمدُ للَّه واللَّه أكبر، حتى يكون منهنّ كلُّهن ثلاث وثلاثون. الدثور: جمع دَثْر بفتح الدال وإسكان الثاء المثلثة، وهو المال الكثير.‏
• وروينا في صحيح مسلم، عن كعب بن عُجْرَة رضي اللّه عنه،
• عن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: "مُعَقِّباتٌ لاَ يَخِيبُ قائِلُهُنَّ أوْ فاعِلُهُنَّ دُبُرَ كُلّ صَلاةٍ مَكْتُوبَةٍ: ثَلاثاً وَثَلاثِينَ تَسْبِيحَةً، وَثَلاثاً وَثَلاثِينَ تَحْمِيدَةً، وأرْبعاً وَثَلاثِينَ تَكْبِيرةً".‏
• وروينا في صحيح مسلم، عن أبي هريرة رضي اللّه عنه،
• عن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: "مَنْ سَبَّحَ اللَّهَ في دُبُرِ كُلِّ صَلاةٍ ثَلاثاً وَثَلاثِينَ، وَحَمِدَ اللَّهَ ثَلاثاً وَثَلاثينَ، وكَبَّرَ اللَّهَ ثَلاثاً وَثَلاثِينَ، وَقالَ تَمامَ المئة: لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لا شَرِيكَ له، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ على كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، غُفِرَتْ خَطاياهُ وَإنْ كَانَتْ مِثْلَ زَبَدِ البَحْرِ".‏
• وروينا في صحيح البخاري في أوائل كتاب الجهاد، عن سعد بن أبي وقاص رضي اللّه عنه:
• أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم كان يتعوّذ دُبُرَ الصلاة بهؤلاء الكلمات: "اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الجُبْنِ، وَأعُوذُ بِكَ أنْ أُرَدَّ إلى أَرْذَلِ العمُرِ، وأعُوذُ بِكَ مِنْ فتْنَةِ الدُّنْيا، وأعُوذُ بِكَ منْ عَذَابِ القَبْرِ".‏
• وروينا في سنن أبي داود والترمذي والنسائي، عن عبد اللّه بن عمرو رضي اللّه عنهما،
• عن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم قال: "خَصْلَضتانِ أوْ خَلَّتانِ لا يُحافِظُ عَلَيْهِمَا عَبْدٌ مُسْلِمٌ إلاَّ دَخَلَ الجَنَّةَ، هُمَا يَسِيرٌ، وَمَنْ يَعْمَلُ بِهِمَا قَلِيلٌ: يُسَبِّحُ اللَّهُ تَعالى دُبُرَ كُلّ صَلاةٍ عَشْراً، وَيَحْمَدُ عَشْراً، ويُكَبِّر عَشْراً، فَذَلِكَ خَمْسُونَ ومِئَةٌ باللِّسانِ، وألْفٌ وخَمْسُمِئَةٍ في المِيزَاِ. وَيُكَبِّرُ أرْبَعاً وَثَلاثِينَ إذَا أخَذَ مَضْجَعَةُ وَيحْمَدُ ثَلاثاً وَثَلاثينَ، وَيُسَبِّحُ ثَلاثاً وَثَلاثينَ، فَذَلكَ مِئَةٌ باللِّسانِ، وألفٌ بالميزَانِ". قال: فلقد رأيت رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم يعقدها بيده، قالوا: يارسول اللّه! كيف هما يسير، ومن يعمل بهما قليل؟ قال: "يأتِي أحَدَكُمْ ـ يعني الشيطان ـ في مَنامِهِ فَيُنَوِّمُهُ قَبْلَ أنْ يَقُولَهُ، ويأتِيهِ في صَلاتِهِ فَيُذَكِّرَهُ حاجَةً قَبْلَ أنْ يَقُولَهَا" إسناده صحيح، إلا أن فيه عطاء بن السائب وفيه اختلاف بسبب اختلاطه، وقد أشار أيوبُ السختياني إلى صحة حديثه هذا.‏
• وروينا في سنن أبي داود والترمذي والنسائي وغيرهم، عن عقبة بن عامر رضي اللّه عنه قال:
• أمرني رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم أن أقرأ بالمعوّذتين دُبُرَ كل صلاة. وفي رواية أبي داود "بالمعوّذات" فينبغي أن يقرأ: قل هو اللّه أحد، وقل أعوذ بربّ الفلق، وقل أعوذ بربّ الناس.‏
• وروينا بإسناد صحيح في سنن أبي داود والنسائي، عن معاذ رضي اللّه عنه:
• أن رسولَ اللَّه صلى اللّه عليه وسلم أخذ بيده وقال: "يا مُعَاذُ! وَاللَّهِ إِنّي لأُحِبُّكَ، فَقالَ: أُوصِيكَ يا مُعاذُ! لا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلّ صَلاةٍ تَقُولُ: اللَّهُمَّ أعِنِّي على ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبادَتِكَ".‏
• وروينا في كتاب ابن السنيّ، عن أنس رضي اللّه عنه قال:
• كانَ رسولُ اللَّه صلى اللّه عليه وسلم إذا قَضى صلاتَه مسحَ جبهتَه بيده اليمنى، ثم قال: "أشْهَدُ أنْ لا إلهَ إِلاَّ اللَّهُ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ، اللَّهُمَّ أذْهِبْ عَنِّي الهَمَّ والحزنَ".‏
• 14/161 وروينا فيه عن أبي أُمامة رضى اللّه عنه قال:
• ما دنوتُ من رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم في دُبُر مكتوبة ولا تطوُّع إلا سمعتُه يقول: "اللَّهُمَّ اغْفِرْ لي ذُنُوبي وَخَطايايَ كُلَّها، اللَّهُمَّ انْعِشْنِي واجْبُرْنِي وَاهْدِنِي لِصَالِح الأعْمالِ وَالأخْلاقِ، إنَّهُ لاَ يَهْدِي لِصَالِحها وَلاَ يَصْرِفُ سَيِّئَها إِلاَّ أَنْتَ".‏
• وروينا فيه عن أبي سعيد الخدريّ رضي اللّه عنه:
• أن النبيّ صلى اللّه عليه وسلم كان إذا فرغ من صلاته ـ لا أدري قبل أن يسلِّم أو بعد أن يسلِّم ـ يقول: "سُبْحانَ ربِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ، وَسَلامٌ على المُرْسَلِينَ، وَالحَمْدُ لِلَّهِ رَبّ العَالَمِينَ".‏
• وروينا فيه عن أَنس رضي اللّه عنه قال:
• كان النبي صلى اللّه عليه وسلم يقول إذا انصرف من الصلاة: "اللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمُرِي آخِرَهُ، وَخَيْرَ عَمَلِي خَواتِمَهُ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامي يَوْمَ ألْقاكَ".‏
• وروينا فيه عن أبي بكرة رضي اللّه عنه:
• أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم كان يقول في دُبر الصلاة: "اللَّهُمَّ إني أعُوذُ بِكَ مِنَ الكُفْرِ وَالفَقْرِ وَعَذَابِ القَبْرِ".‏
• وروينا فيه بإسناد ضعيف عن فضالة بن عبيد اللّه قال:
• قال رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم: "إذَا صَلَّى أحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأ بِتَحْمِيدِ اللَّهِ تَعالى وَالثَّناء عَلَيْهِ، ثُمَّ يُصَلِّي على النَّبيّ صلى اللّه عليه وسلم ثُمْ ليَدْعُو بِمَا شَاءَ".
• (148) الترمذي (3494) ، والنسائي (108) في "اليوم والليلة" وقال الترمذي: حديث حسن غريب، وقال الحافظ: وفيما قاله نظر، لأن له عللاً، منها الانقطاع بين ابن سابط وأبي أمامة، ومنها عنعنة ابن جريج عن ابن سابط، ومنها الشذوذ. ثم ذكر الحافظ للشق الأول من الحديث شاهداً صحيحاً فانظر. الفتوحات الربانية 3/30.
• (149) البخاري (841) ، ومسلم (583) .
• (150) مسلم (591) ، وأبو داود (1513) ، والترمذي (300) ، والنسائي 3/68.
• (151) البخاري (844) ، ومسلم (593) ، وأبو داود (1505) ، والنسائي 3/70 في المجتبى، و (129) ، في "اليوم والليلة.
• (152) مسلم (594) ، وأبو داود (1506) و (1507) ، والنسائي 3/75 في المجتبى، و (127) في "اليوم والليلة".
• (153) البخاري (843) ، ومسلم (595) ، والموطأ 1/209، وأبو داود (1504) .
• (154) مسلم (596) ، والترمذي (3409) ، والنسائي 3/75 في المجتبى، و (155) و (156) في "اليوم والليلة".
• (155) مسلم (595) ، وانظر تخريجه كاملاً برقم 6/153.
• (156) البخاري (6374) ، والترمذي (3562) ، والنسائي 8/266 في المجتبى، و (131) و (132) في "اليوم والليلة"، وفي البخاري زيادة "وأعوذُ بك من البخل".
• (157) أبو داود (5065) ، والترمذي (3407) ، والنسائي 3/74. وقد صحه الحافظ، وبيّن أن سماع هذا الحديث من عطاء حصل قبل اختلاطه. انظر الفتوحات الربانية 1/51.
• (158) أبو داود (1532) ، والترمذي (2905) ، والنسائي 3/68، ورواه أحمد وابن حبّان والحاكم وابن السني، والحديث صحيح كما قال الحافظ. الفتوحات 3/53.
• (159) أبو داود (1522) ، والنسائي 3/53 في المجتبى، و (109) في "اليوم والليلة" ورواه الحاكم 1/273، وأحمد وإسحاق في مسنديهما، والطبراني في الدعاء، وابن حبّان في موضعين من صحيحه. والحديث صحيح كما قال الحافظ. الفتوحات 3/55.
• (160) ابن السني (110) وفيه "نشهد"؛ وإسناده ضعيف جداً، فيه زيد العمي ضعيف، وسلاَّم الطويل المدائني أشد ضعفاً.
• (161) ابن السني (114) وإسناده ضعيف.
• (162) ابن السني (117) وإسناده ضعيف.
• (162 م) ابن السني (119) وإسناده ضعيف.
• (163) ابن السني (109) ، وقال الحافظ بعد تخريجه: حديث حسن أخرجه أحمد والنسائي وابن أبي شيبة، وأخرجه ابن السني عن النسائي بإسناده، وعجيب للشيخ ـ أي النووي ـ في اقتصاره على ابن السني، والحديث في أحد السنن المشهورة. الفتوحات 3/60ـ61.
• (164) ابن السني (111) وسنده ضعيف لوجود ابن لهيعة فيه، أما متنه فصحيح؛ قال الحافظ هذا حديث صحيح أخرجه أحمد وإسحاق في مسنديهما، وأبو داود والترمذي وابن خزيمة وابن حبّان والحاكم.. الفتوحات 3/62.‏
• روينا عن أنس رضي اللّه عنه في كتاب الترمذي وغيره قال:
• قال رسولُ اللَّه صلى اللّه عليه وسلم: "مَنْ صَلَّى الفَجْرِ في جَماعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ تَعالى حتَّى تَطْلُعَ الشَمْسُ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كانَتْ كأجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تامَّةٍ تامةٍ تامةٍ" قال الترمذي: حديث حسن.‏
• وروينا في كتاب الترمذي وغيره، عن أبي ذر رضي اللّه عنه
• أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم قال: "مَنْ قالَ فِي دُبُرِ صَلاةِ الصُّبْحِ وَهُوَ ثانٍ رِجْلَيهِ قَبْلَ أنْ يَتَكَلَّمَ: لا إِلهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ يُحْيي وَيُمِيتُ وَهُوَ على كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ عَشْرَ مرَّاتٍ كُتِبَ لَهُ عَشْرُ حَسَناتٍ، ومُحِيَ عَنْهُ عَشْرُ سَيِّئاتٍ، وَرُفِعَ لَهُ عَشْرُ دَرَجاتٍ، وكانَ يَوْمَهُ ذلكَ فِي حِرْزٍ مِنْ كُلّ مَكْرُوهٍ وَحُرِسَ مِنَ الشَّيْطانِ ولَمْ يَنْبَغِ لِذَنْبٍ أنْ يُدْرِكَهُ في ذلكَ اليَوْمِ إِلاَّ الشِّرْكَ باللَّهِ تَعالى". قال الترمذي: هذا حديث حسن، وفي بعض النسخ: صحيح.‏
• وروينا في سنن أبي داود، عن مسلم بن الحارث التميمي الصحابي رضي اللّه عنه،
• عن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم أنه أسرّ إليه فقال: إذَا انْصَرَفْتَ مِنْ صَلاةِ المَغْرِبِ فَقُلِ: اللَّهُمَّ أجِرْنِي مِنَ النَّارِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، فإنَّكَ إذَا قُلْتَ ذلكَ ثُمَّ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْها، وإذَا صَلَّيْتَ الصُّبْحَ فَقُلْ كذَلِكَ، فإنَّكَ إنْ مُتَّ مِنْ يَوْمِكَ كُتِبَ لَكَ جِوَارٌ مِنْها".‏
• وروينا في مسند الإِمام أحمد وسنن ابن ماجه وكتاب ابن السنيّ، عن أُمّ سلمة رضي اللّه عنها قالت:
• كان رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم إذا صلى الصبح قال: "اللَّهُمَّ إني أسألُكَ عِلْماً نافِعاً، وعَمَلاً مُتَقَبَّلاً، وَرِزْقاً طَيِّباً".‏
• وروينا فيه، عن صُهيب رضي اللّه عنه:
• أن رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم كان يحرّك شفتيه بعد صلاة الفجر بشيء، فقلت: يارسول اللّه! ما هذا الذي تقول؟ قال: "اللَّهُمَّ بِكَ أُحاوِلُ، وَبِكَ أُصَاوِلُ، وَبِكَ أُقاتِلُ" والأحاديث بمعنى ما ذكرته كثيرة، وسيأتي في الباب الآتي من بيان الأذكار التي تقال في أوّل النهار ما تقرّ به العيون إن شاء اللّه تعالى.
• وروينا عن أبي محمد البغوي في شرح السنّة قال: قال علقمة بن قيس: بلغنا أن الأرض تعجّ إلى اللّه تعالى من نومة العالِم بعد صلاة الصبح (شرح السنّة للبغوي، وإسناده منقطع) . واللّه أعلم.
• (165) الترمذي (586) وهو حديث غريب كما قال الحافظ ابن حجر، ولكنه يعتضد بشواهده. انظر الفتوحات الربانية 13/64.
• (166) الترمذي (3470) ، وقال: حديث حسن صحيح غريب، وحسنه الحافظ ابن حجر لشواهده.
• (167) أبو داود (5079) و (5080) ، والنسائي في الكبرى، وابن حبّان في صحيحه، وقد حسنّه الحافظ ابن حجر.
• (168) المسند 6/294، وابن ماجه (925) ، وابن السني (108) ، والنسائي (102) في "اليوم والليلة" ورجاله ثقات لولا جهالة مولى أُمّ سلمة. قال البوصيري في الزوائد: ولم أرَ أحداً ممّن صنّف في المبهمات ذكره، ولا أدري ما حاله. وقد حسن الحافظ ابن حجر الحديث لشواهده.
• (169) ابن السني (115) وهو حديث حسن بشواهده. انظر الفتوحات 3/71.‏


TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

DOA SHALAT HAJAT

DOA SHOLAT HAJAT
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً تُنَجِّيْنَا بِهَا مِنْ جَمِيْعِ الأَهْوَالِ وَالأَفَاتِ وَتَقْضِي لَنَا مِنْ جَمِيْعِ الْحَاجَات وَتُطَهِّرُنَا مِنْ جَمِيْعِ السَّيِّئَاتِ وَتَرْفَعُنَا بِهَا عِنْدَكَ أَعْلَى الدَّرَجَاتِ وَتُبَلِغُنَا بِهَا أَقْصَى الْغَايَاتِ مِنْ جَمِيْعِ الْخَيْرَاتِ فِيْ الْحَيَاةِ وَبَعْدَ الْمَمَاتِ وَعَلَى آلِهِ وَص َحْبِهِ وَسَلَّم.
اللَّهُمَّ يَا جَامِعَ الشَّتَّاتِ وَيَا مُخْرِجَ النَّبَاتِ وَيَامُحْيِىَ العِظَامِ الرُّفَاتِ وَيَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ وَيَا مُجِيْبَ الدَّعَوَاتِ وَيَا مُفَرِّجَ الكُرَبَاتِ وَيَا سَامِعَ الأَصْوَاتِ مِنْ فَوْقِ سَبْعِ سَمَوَاتِ وَيَا فَاتِحَ خَزَائِنَ الْكَرَمَاتِ وَيَا مَنْ مَلأَ َنُوْرِهِ الأَرْضَ وَالسَّمَوَاتِ وَيَا مَنْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا وَأَحْصَى كُلَّ شَيْءٍ عَدَدًا وَعَالِمًا بِمَا مَضَى وَمَا هُوَ آتٍ. نَسْأَلُكَ اللَّهُمَّ بِقُدْرَتِكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَبِاسْتِغْنَائِكَ عَنْ جَمِيْعِ خَلْقِكَ وَبِحَمْدِكَ وَمَجْدِكَ يَا إِلَهَ كُلِّ شَيْءٍ أَنْْ تَجُوْدَ عَلَيْنَا بِقَضَاءِ حَاجَاتِنَا ....
وَأَنْ تَتَقَبَّلَ مِنَّا مَا بِهِ دَعَوْنَاكَ وَأَنْ تُعْطِيَنَا مَا سَأَلْنَاكَ بِحَقِّ سُوْرَةِ يس وَبِحَقِّ قَلْبِ القُرْآنِ وَبِحُرْمَةِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم . اللَّهُمَّ لاَ تَدَعْ لَنَا ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ عَيْبًا إِلاَّ سَتَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ عَزْبًا إِلاَّ زَوَّجْتَهُ وَلاَ كَرْبًا إِلاَّ كَشَفْتَهُ وَلاَ دَيْنًا إِلاَّ قَضَيْتَهُ وَلاَ ضَالاً إِلاَّ هَدَيْتَهُ وَلاَ عَائِلاً إِلاَّ أَغْنَيْتَهُ وَلاَ عَدْوًا إِلاَّ خَذَلْتَهُ وَكَفَيْتَهُ وَلاَ صَدِيْقًا إِلاَّ رَحِمْتَهُ وَكَافَيْتَهُ وَلاَّ فَسَادًا إِلاَّ أَصْلَحْتَهُ وَلاَ مَرِيْضًا إِلاَّ عَافَيْتَهُ وَلاَ غَائِبًا إِلاَّ رَدَدْتَهُ وَلاَ حَاجَةً مِنْ حَوَائِجِ الدُّنْيَا وَالأَخِرَةِ لَكَ فِيْهَا رِضَا وَلَنَا فِيْهَا صَلاَحٌ إِلاَّ قَضَيْتَهَا وَيَسَّرْتَهَا يَا رَبَّ الْعَالَمِيْن . وَاكْتُبِ اللَّهُمَّ السَّلاَمَةَ وَالصِّحَةَ وَالْعَافِيَةَ عَلَيْنَا وَعَلَيْهِمْ وَعَلَى عَبِيْدِكَ الْحُجَّاجِ وَالْغُزَّاةِ وَالزُّوَّارِ وَالْمُسَافِرِيْنَ وَالْمُقِيْمِيْنَ فِيْ الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَالْجَوِّ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَقِنَا شَرَّ الظَّالِمِيْنَ وَانْصُرْنَا عَلَى اْلقَوْمِ الْكَافِرِيْنَ وَاخْتِمْ لَنَا يَارَبَّنَا مِنْكَ بِخَيْرٍ يَاأَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ . اللًّهُمَّ اكْشِفْ عَنَّا وَعَنِ الْمُسْلِمِيْنَ الغَلاَءَ وَالْوَبَاءَ وَالْبَلاَءَ وَالطَّاعُوْنَ وَالْفَحْشَاءَ وَالْمُنْكَرَ وَالسُّيُوْفَ الْمُخْتَلِفَةَ وَالشَّدَائِدَ وَالمِحَنَ مَاظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ مِنْ بَلَدِنَا هَذَا خَاصَّةً وَمِنْ بُلْدَانِ الْمُسْلِمِيْنَ عَامَّةً إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ .
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخَاسِرِيْنَ رَبَّنَا لاَ تُزِغْ قُلُوْبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الوَهَّابُ . رَبَّنَا آتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ . وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلأُمِّيِّ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْن.

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

Kamis, 08 Oktober 2009

KUMPULAN DOA

1. Do’a sebelum makan:
اللهم بارك لنا فيما رزقتنا وقنا عذاب النار
Ya Allah berilah berkah kepada kami dari apa yang engkau beri rezeki pada kami dan hindarkanlah kami dari azab neraka.
Do,a sesudah makan:
الحمد لله الذي أطعمنا وسقانا وجعلنا من المسلمين
Segala Puji bagi Allah yang telah memberi makan dan minum kepada kami dan menjadikan kami muslim.

Do’a Iftar (buka Puasa):
اللهم لك صمت وبك آمنت وعلى رزقك أفطرت برحمتك يا ارحم الرحمين
Ya Allah untuk-Mu lah aku berpuasa dan kepada-Mu lah aku beriman dan atas rizki- Mu-lah aku berpuka, dengan rahmat-Mu wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

2. Do’a masuk Masjid:
اللهم افتح لى أبواب رحمتك
Ya Allah, bukalah pintu-pintu rahmat-Mu untukku.
Do’a keluar Masjid:
اللهم اني اسألك فضلك
Ya Allah sesungguhnya aku minta kepada-Mu dengan keutamaan-Mu.

3. Do’a masuk WC:
اللهم اني أعوذ بك من الخبث والخبائث
Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari Godaan Syaiton laki-laki dan Perempuan. (HR.Bukhari)
Do’a keluar dari WC:
غفرانك الحمد لله الذي اذهب عني الأذى وعافانى
Aku minta ampun kepada-Mu, segala puji bagi Allah yang telah menghindarkan daku dari penyakit dan menyehatkanku.

4. Do’a sebelum tidur:
باسمك اللهم أحيا وبأموت
Dengan namamu, aku hidup dan aku mati.
Do,a ketika bangun tidur:
الحمد الله الذي أحيانا بعدما أماتنا واليه النشور
Segala puji bagi Allah yang telah membangunkan kami setelah kami ditidurkan, dan
kepadaNyalah kami akan di bangkitkan.

5. Do’a ketika keluar dari rumah:
بسم الله توكلت على الله ولاحول ولا قوة الا بالله
Dengan nama Allah (aku keluar) aku bertawakkal kepadaNya, tiada daya dan upaya kecuali dengan kekuatan Allah.
Do`a ketika masuk rumah:
بسم الله ولجنا وبسم الله خرجنا وعلي الله توكلنا
Dengan nama Allah kami masuk (kerumah) dengan nama Allah kami keluar (darinya) dan kepada Tuhan kami bertawakkal.





6. Do’a ketika mendengarkan Adzan:
Seseorang untuk mendengarkan adzan hendaklah membaca sebagaimana yang di kumandangkan oleh muadzin, kecuali bacaan :حي علي الصلاة (hayya 'alassholaah) dan حي علي الفلاح (hayya 'alalfalaah) maka padanya bacalah :لاحول ولاقوة الابالله (laa haula walaa quwwata illa billah)
Membaca shalawat kepada Nabi saw sesudah adzan :
اللهم رب هذه الدعوة التامة والصلاة القائمة آت سيدنا محمدا الوسيلة والفضيلة وابعثه مقاما محمودا الذي وعدته(انك لا تخلف الميعاد)
Ya Allah, Tuhan panggilan yang sempurna (azan) dan shalat (wajib) yang didirikan. Berilah Al-Wasilah (derajat di surga,yang tidak akan diberikan selain kepada Nabi SAW). Dan Fadhilah kepada Muhammad. Dan bangkitkan Beliau sehingga bisa menempati maqam terpuji yang telah Engkau janjikan. Sesungguhnya Engkau tidak menyalahi janji.

7. Do`a sebelum wudhu:
بسم الله Dengan nama Allah (saya berwudhu).
Do`a setelah berwudhu:
اشهد ان لا اله الا الله وحده لا شريك له واشهد ان محمدا عبده ورسول الله
Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang patut di sembah kecuali Allah yang Maha Esa dan tiada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba & utusanNya .

اللهم اجعلني من التوابين واجعلنى من المتطهرين

Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat dan jadikanlah termasuk orang-orang (yang senang) bersuci.

8. Do’a ketika bersin:
Apabila seseorang diantara kamu bersin hendaklah membaca : الحمد لله (segala puji bagi Allah), lantas saudara atau temannya berkata : يرحمك الله (semoga Allah memberi berkah kepadamu), Bila saudara atau temannya berkata demikian bacalah :
يهديكم الله ويصلح بالكم (semoga Allah memberi petunjuk kepadamu dan memperbaiki hatimu).

9. Do’a Pelebur Dosa Majlis.
سبحناك اللهم وبحمدك اشهد ان لا اله الا انت استغفرك واتوب اليك
"Maha Suci Engkau, Ya Allah, aku memuji-Mu. Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan kecuali Engkau, aku minta ampun dan bertaubat kepada-Mu.

10. Do’a sebelum berhubungan suami istri
بسم الله اللهم جنبنا الشيطان و جنب الشيطان ما رزقتنا
Dengan nama Allah. Ya Allah! Jauhkan kami dari setan, dan jauhkan setan untuk mengganggu apa yang Engkau rezekikan kepada kami.

11. Doa untuk dijauhkan dari bala dan marabahaya:
بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شئ في الأرض و لا في السماء وهو السميع العليم
"Dengan nama Allah yang segala sesuatu baik di langit maupun di bumi tidak akan memberi mudhorot (bahaya) apa-apa selama berlindung dengan menyebut nama-Nya

12. Doa penawar dan penyejuk hati dari kesedihan, rasa malas, kebingungan, ketidak mampuan, bakhil dan keterlilitan hutang.
اللهم إني أعوذ بك من الهم و الحزن, و أعوذ بك من العجز و الكسل, وأعوذ بك من الجبن و البخل, وأعوذ بك من غلبة الدين و قهر الرجال
"Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari kebingungan dan keduka-citaan, aku berlindung kepada-Mu dari sifat lemah dan malas, aku berlindung kepada-Mu dari sifat penakut dan bakhil, aku berlindung kepada-Mu dari beban hutang penindasan orang-orang."


TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

DOA MELAHIRKAN ANAK


Doa untuk kemudahan melahirkan
Referensi: تحفة الحبيب على شرح الخطيب > كتاب الصيد والذبائح > فصل في العقيقة
Ijazah dari Syekh Syaubari yang dimuat di kitab Tuhfatul Habib dan Ianatuth Thalibin.
Perhatian: Mulailah dengan Al-Fatihah (berwasilah), Shalawat, Hamdalah, barulah berdoa:
ُا ْ خرُجْ أَيُّهَا الْوَلَدُ مِنْ بَطْ ٍ ن ضَيَِّقةٍ إَلى سِعَةِ هَذِهِ الدُّْنيَا ، ُا ْ خرُجْ ِبُقدْرَةِ اللَّهِ َتعَاَلى الَّذِي جَعََلك فِي قَرَا ٍ ر
مَكِي ٍ ن إَلى َقدَرٍ مَعُْلو ٍ م
21 ) َلوْ أَنزَْلَنا هَ َ ذا الُْقرْآنَ عََلى جَبَلٍ لَّرَأَيَْتهُ َ خاشِعًا مَُّتصَدِّعًا مِّنْ َ خشْيَةِ اللَّهِ وَتِلْكَ اْلأَمَْثالُ َنضْ ِ ربُهَا لِلنَّا ِ س )
َلعَلَّهُمْ يََتَفكَّرُونَ
22 ) هُوَ اللَّهُ الَّذِي َلا إَِلهَ إِلَّا هُوَ عَالِمُ اْل َ غيْ ِ ب وَالشَّهَادَةِ هُوَ الرَّحْمَنُ الرَّحِيمُ )
23 ) هُوَ اللَّهُ الَّذِي َلا إَِلهَ إِلَّا هُوَ الْمَلِكُ الُْقدُّوسُ السَّلَامُ الْمُؤْمِنُ الْمُهَيْمِنُ اْلعَ ِ زيزُ الْجَبَّارُ الْمَُت َ كبِّرُ سُبْحَا نَ )
اللَّهِ عَمَّا يُشْرِ ُ كونَ
24 ) هُوَ اللَّهُ الْخَالِ ُ ق الْبَارِئُ الْمُصَوِّرُ لَهُ اْلأَسْمَاء اْلحُسَْنى يُسَبِّحُ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْ ِ ض وَهُ وَ )
اْلعَ ِ زيزُ الْحَكِيمُ
82 ) وَُننَزِّلُ مِنَ اْلُقرْآ ِ ن مَا هُوَ شَِفاء وَرَحْمَ ٌ ة لِّْلمُؤْمِنِينَ )
[Doa] Keluarlah hai bayi, dari perut yang sempit ke luasnya dunia ini. Keluarlah dg kekuasaan Allah
SWT yang telah menciptakan engkau di dalam tempat yang kokoh (rahim) menuju ketentuan yang
telah diketahui.
(QS. 59 Al Hasyr)
[21] Kalau sekiranya Kami menurunkan Al Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan
melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan perumpamaan -
perumpamaan itu. Kami buat untuk manusia supaya mereka berpikir.
[22] Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang Mengetahui yang gaib
dan yang nyata, Dia-lah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
[23] Dia-lah Allah Yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang
Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa,
Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki segala keagungan, Maha Suci, Allah dari apa yang mereka
persekutukan.
[24] Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai
Nama-Nama Yang Paling baik. Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan
Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. 17 Al-Isra') [82] Dan Kami turunkan dari Al Quran sesuatu yang menjadi penawar dan rahmat
bagi orang-orang yang beriman
TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

Rabu, 16 September 2009

betapa pentingnya potensi diri

Kita lihat di antara barisan para penuntut ilmu ada orang-orang yang dianugerahi kemampuan yang agung, yang luar biasa, yang membuat mereka pantas mendapat kemuliaan ilmu. Hanya saja cita-cita mereka yang rendah menghancurkan anugerah tersebut, menghilangkan eloknya keunggulan mereka, sehingga engkau dapati mereka merasa cukup dengan ilmu yang sedikit, mereka tidak suka membaca dan menelaah, mereka sering terlalaikan dari menuntut ilmu.
TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

ZAKAT FITRAH

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Dalam kajian ini, akan dipaparkan apa itu Zakat Fitrah dan hukumnya?. Selain itu akan dijelaskan mengenai siapa yang dikenakan kewajiban zakat fitrah, besarannya, waktu pembayarannya, dan kepada siapa zakat fitrah dibagikan.

Ta’rif dan Hukumnya

Zakat atau sedekah fitrah adalah zakat yang disebabkan datangnya Idul Fitri setelah Ramadhan. Diwajibkan pada tahun kedua hijriyah –bersamaan dengan kewajiban puasa– dan berbeda dengan zakat-zakat yang lainnya karena zakat ini wajib atas setiap orang, bukan atas kekayaan. Jumhurul ulama bersepakat bahwa zakat fitrah itu hukumnya wajib, seperti dalam hadits Ibnu Umar bahwa, “Rasulullah saw. mewajibkan zakat fitrah dari bulan Ramadhan satu sha’ kurma dan gandum atas setiap orang merdeka atau budak sahaya, laki-laki dan wanita umat Islam ini.” (Al-Jama’ah).

Rasulullah saw. telah menjelaskan hikmah zakat fitrah, yaitu sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia yang sangat sulit dihindari saat sedang berpuasa. Zakat fitrah juga menjadi makanan fakir miskin pada Hari Raya sehingga mereka semua dapat merayakan Idul Fitri dengan senang dan bahagia.

Siapa yang diwajibkan? Zakat ini diwajibkan kepada setiap muslim, baik merdeka atau budak, laki-laki atau wanita, besar atau kecil, kaya atau miskin. Seorang laki-laki mengeluarkan zakat untuk dirinya dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya. Seorang isteri mengeluarkan zakat untuk dirinya atau oleh suaminya. Tidak wajib dibayarkan untuk bayi yang masih dalam kandungan, meskipun disunnahkan menurut Ahmad bin Hanbal. Jumhurul ulama mensyaratkan zakat itu kepada seorang muslim yang memiliki kelebihan makanan pada Hari Ied itu sebesar zakat fitrah yang menjadi kewajibannya. Hutang yang belum jatuh tempo tidak boleh menggeser kewajiban zakat, berbeda dengan hutang yang sudah jatuh tempo (yang harus dibayar seketika itu).

Besar Zakat Fitrah
Tiga ulama (Malik, Syafi’i, dan Ahmad) telah bersepakat bersama jumhurul ulama bahwa zakat fitrah itu sebesar satu sha’ kurma, gandum, atau makanan lain yang menjadi makanan pokok negeri yang bersangkutan. Seperti yang ada dalam hadits di atas juga hadits Abu Said Al-Khudri, “Kami pernah membayar zakat fitrah dan Rasulullah saw. bersama kami, berupa satu sha’ makanan, atau kurma, atau gandum. Seperti itu kami membayar zakat, sampai di zaman Muawiyah datang di Madinah yang mengatakan, ‘Sekarang saya berpendapat bahwa dua mud gandum Syam itu sama dengan satu sha’ kurma.’ Lalu pendapat ini dipakai kaum muslimin saat itu.” (Al-Jama’ah). Madzhab Hanafi berpendapat bahwa zakat fitrah itu sebesar satu sha’ dari semua jenis makanan. Satu sha’ adalah empat sendokan dengan dua telapak tangan orang dewasa standar atau empat mud. Karena satu mud itu juga sebesar sendokan dengan dua telapak tangan orang dewasa standar, jika dikonversi sekitar 2.176 gr.

Zakat fitrah dikeluarkan dari makanan pokok mayoritas penduduk di suatu negeri, atau dari mayoritas makanan pokok muzakki jika lebih baik dari pada makanan pokok negeri mustahik. Demikianlah pendapat jumhurul ulama. Diperbolehkan membayar dengan nilai uang satu sha’ jika lebih bermanfaat bagi fakir miskin. Demikianlah pendapat madzhab Hanafi, yang diriwayatkan pula dari Umar bin Abdul Aziz dan Hasan Al Bashri, pendapat yang lebih mudah dikerjakan pada masa sekarang ini.

Waktu Membayarkannya
Zakat fitrah wajib dibayar oleh orang yang bertemu dengan terbenamnya matahari di hari terakhir bulan Ramadhan. Ini menurut madzhab Syafi’i. Atau yang bertemu dengan terbit fajar Hari Ied, menurut madzhab Hanafi dan Maliki. Wajib mengeluarkan zakat fitrah sebelum shalat Ied, seperti dalam hadits Ibnu Abbas. Diperbolehkan membayarnya lebih awal sejak masuk bulan Ramadhan, menurut madzhab Syafi’i. Dan yang utama mengakhirkannya satu atau dua hari menjelang Iedul Fitri. Demikianlah pendapat yang dipegang oleh madzhab Maliki. Diperbolehkan mendahulukannya sampai awal tahun menurut madzhab Hanafi, beralasan bahwa namanya tetap zakat. Dan menurut madzhab Hanbali diperbolehkan mensegerakannya mulai dari separuh kedua bulan Ramadhan.

Kepada Siapa Zakat Ini Dibagikan?
Para ulama bersepakat bahwa zakat fitrah ini dibagikan kepada fakir miskin kaum muslimin. Abu Hanifah memperbolehkan pembagianya kepada fakir miskin ahli dzimmah (orang kafir yang hidup di dalam perlindungan pemerintahan Islam). Prinsipnya bahwa zakat fitrah itu diwajibkan untuk dibagkan kepada fakir miskin, sehingga tidak diberikan kepada delapan ashnaf lainnya. Kecuali jika ada kemaslahatan atau kebutuhan lain. Zakat ini juga hanya dibagikan di negeri zakat itu diambil, kecuali jika di negeri itu tidak ada fakir miskin, diperbolehkan untuk memindahkannya ke negara lain. Zakat fitrah tidak boleh dibagikan kepada orang yang tidak boleh menerima zakat mal seperti orang murtad, fasik yang mengganggu kaum muslimin, anak, orang tua, atau isteri.
TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

Kamis, 03 September 2009

FOTO BERSAMA ISTRIKU


TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI

Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan dalam agama islam

Untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang asasi.
Pernikahan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan melangsungkan aqad nikah (melalui jenjang pernikahan). Bukan dengan cara yang amat kotor menjijikkan seperti cara-cara orang sekarang seperti: berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang jauh dan diharamkan oleh Islam.

Untuk membentengi ahlak yang luhur.
Sasaran utama dari disyari’atkannya pernikahan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang pernikahan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efektif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan serta melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih Menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya”. (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa’i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi).

Untuk menegakkan rumah tangga yang islami.
Dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian). Jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah: “Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zhalim”. (Al-Baqarah : 229).

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari’at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduanya sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam lanjutan ayat di atas: “Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dinikahkan dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk nikah kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diterangkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui”. (Al-Baqarah: 230).

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari’at Islam dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari’at Islam adalah WAJIB. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal yaitu: (a) sesuai kafa’ah; dan (b) shalih dan shalihah.

Kafa’ah menurut konsep islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orangtua. Tidak sedikit pada zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu’ (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.
Menurut Islam, kafa’ah (atau kesamaan/kesepadanan/ sederajat dalam pernikahan) dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami Insya Allah akan terwujud. Tetapi kafa’ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta akhlaq seseorang. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya kecuali derajat taqwanya.

Firman Allah: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Al-Hujurat : 13).

Dan mereka tetap sekufu’ dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orangtua, pemuda, pemudi untuk meninggalkan faham materialis dan kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka”. (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim).

Memilih yang shalih dan shalihah
Lelaki yang hendak menikah harus memilih wanita yang shalihah dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur’an: “Wanita yang shalihah ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, olkeh karena Allah telah memelihara (mereka)”. (An-Nisaa : 34). Menurut Al-Qur’an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah : “Ta’at kepada Allah, ta’at kepada Rasul, memakai jilbab (pakaian) yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32).

Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, ta’at kepada orangtua dalam kebaikan, ta’at kepada suami dan baik kepada dan lain sebagainya”. Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

Untuk meningkatkan ibadah kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenuhnya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadah dan amal-amal shalih yang lain. Sampai-sampai bersetubuh (berhubungan suami-istri) pun termasuk ibadah (sedekah). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah!.” Mendengar sabda Rasulullah itu para shahabat keheranan dan bertanya: “Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? “Jawab para shahabat : “Ya, benar”. Beliau bersabda lagi : “Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala!”. (Hadits Shahih Riwayat Muslim, Ahmad dan Nasa’i dengan sanad yang Shahih).

Untuk mencari keturunan yang shalih dan shalihah.
Tujuan pernikahan diantaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam. Allah berfirman: “Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?”. (An-Nahl : 72).

Yang tak kalah pentingnya, dalam pernikahan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas yaitu mencetak anak yang shalih dan Shalihah serta bertaqwa kepada Allah SWT. Keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan tarbiyah Islam (pendidikan Islam) yang benar. Disebutkan demikian karena banyak “Lembaga Pendidikan Islam”, tetapi isi dan metodanya tidak Islami. Sehingga banyak terlihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami sebagai akibat pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Islam memandang bahwa pembentukan keluarga merupakan salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.