Laman

Senin, 31 Agustus 2009

ILMU MANTIQ (ILMU LOGIKA)

ILMU MANTIQ
(LOGIKA)
oleh Ust. Husein Al-Kaff

Telah diedit kembali oleh Tgk.M. Rizal, S.Ag
Email : murizal77@ymail.com

z
Mantiq
oleh Ust. Husein Al-Kaff


Definisi dan Urgensi Mantiq
Mantiq adalah alat atau dasar yang penggunaannya akan menjaga kesalahan dalam berpikir.
Lebih jelasnya, Mantiq adalah sebuah ilmu yang membahas tentang alat dan formula berpikir, sehingga seseorang yang menggunakannya akan selamat dari cara berpikir salah. Manusia sebagai makhluk yang berpikir tidak akan lepas dari berpikir. Namun, saat berpikir, manusia seringkali dipengaruhi oleh berbagai tendensi, emosi, subyektifitas dan lainnya sehingga ia tidak dapat berpikir jernih, logis dan obyektif. Mantiq merupakan upaya agar seseorang dapat berpikir dengan cara yang benar, tidak keliru.
Sebelum kita pelajari masalah-masalah mantiq, ada baiknya kita mengetahui apa yang dimaksud dengan "berpikir".
Berpikir adalah proses pengungkapan sesuatu yang misteri (majhul atau belum diketahui) dengan mengolah pengetahuan-pengetahuan yang telah ada dalam benak kita (dzihn) sehingga yang majhul itu menjadi ma'lûm (diketahui).
Faktor-Faktor Kesalahan Berpikir disebabkan oleh ;
1. Hal-hal yang dijadikan dasar (premis) tidak benar.
2. Susunan atau form yang menyusun premis tidak sesuai dengan kaidah mantiq yang benar.
Argumentasi (proses berpikir) dalam alam pikiran manusia bagaikan sebuah bangunan. Suatu bangunan akan terbentuk sempurna jika tersusun dari bahan-bahan dan konstruksi bangunan yang sesuai dengan teori-teori yang benar. Apabila salah satu dari dua unsur itu tidak terpenuhi, maka bangunan tersebut tidak akan terbentuk dengan baik dan sempurna. Sebagai misal,
[1] Socrates adalah manusia; dan
[2] setiap manusia bertindak zalim;
maka [3] Socrates bertindak zalim".
Argumentasi semacam ini benar dari segi susunan dan formnya. Tetapi, salah satu premisnya salah yaitu premis yang berbunyi "Setiap manusia bertindak zalim", maka konklusinya tidak tepat. Atau misal, "[1] Socrates adalah manusia; dan [2] Socrates adalah seorang ilmuwan", maka "[3] manusia adalah ilmuwan". Dua premis ini benar tetapi susunan atau formnya tidak benar, maka konklusinya tidak benar. (Dalam pembahasan qiyas nanti akan dijelaskan susunan argumentasi yang benar, pen).
Ilmu dan Idrak
Dua kata di atas, Ilmu dan Idrak, mempunyai makna yang sama (sinonim). Dalam ilmu mantiq, kedua kata ini menjadi bahasan yang paling penting karena membahas aspek terpenting dalam pikiran manusia, yakni ilmu. Oleh karena itu, makna ilmu sendiri perlu diperjelas. Para ahli mantiq (mantiqiyyin) mendefinisikan ilmu sebagai berikut:
Ilmu adalah gambaran tentang sesuatu yang ada dalam benak (akal). Benak atau pikiran kita tidak lepas dari dua kondisi yang kontradiktif, yaitu ilmu dan jahil (ketidak tahuan). Pada saat keluar rumah, kita menyaksikan sebuah bangunan yang megah dan indah, dan pada saat yang sama pula tertanam dalam benak gambaran bangunan itu. Kondisi ini disebut "ilmu". Sebaliknya, sebelum menyaksikan bangunan tersebut, dalam benak kita tidak ada gambaran itu. Kondisi ini disebut "jahil".
Pada kondisi ilmu, benak atau akal kita terkadang hanya
[1] menghimpun gambaran dari sesuatu saja (bangunan, dalam misal). Terkadang kita tidak hanya menghimpun tetapi juga
[2] memberikan penilaian atau hukum (judgement).

(Misalnya, bangunan itu indah dan megah).
Kondisi ilmu yang pertama disebut tashawwur dan yang kedua disebut tashdiq. Jadi tashawwur hanya gambaran akan sesuatu dalam benak. Sedangkan tashdiq adalah penilaian atau penetapan dengan dua ketetapan: "ya" atau "tidak/bukan". Misalnya, "air itu dingin", atau "air itu tidak dingin"; "manusia itu berakal", atau "manusia itu bukan binatang" dan lain sebagainya.
Kesimpulan, ilmu dibagi menjadi dua; tashawwuri dan tashdiqi.
Dharuri dan Nadzari
Ilmu tashawwuri dan ilmu tashdiqi mempunyai dua macam: dharuri dan nadzari. Dharuri adalah ilmu yang tidak membutuhkan pemikiran lagi (aksiomatis). Nadzari adalah ilmu yang membutuhkan pemikiran.
Lebih jelasnya, dharuri (sering juga disebut badihi) adalah ilmu dan pengetahuan yang dengan sendirinya bisa diketahui tanpa membutuhkan pengetahuan dan perantaraan ilmu yang lain. Jadi Ilmu tashawwuri dharuri adalah gambaran dalam benak yang dipahami tanpa sebuah proses pemikiran. Contoh: 2 x 2 = 4; 15 x 15 = 225 atau berkumpulnya dua hal yang kontradiktif adalah mustahil (tidak mungkin terjadi) adalah hal yang dharuri. Sedangkan nadzari dapat diketahui melalui sebuah proses pemikiran atau melalui pengetahuan yang sudah diketahui sebelumnya. (Lihat kembali definisi berpikir). Jadi ilmu tashawwuri nadzari adalah gambaran yang ada dalam benak yang dipahami melalui proses pemikiran.
Contoh: bumi itu bulat adalah hal yang nadzari.
Kulli dan Juz'i
Pembahasan tentang kulli (general) dan juz'i (parsial) secara esensial sangat erat kaitannya dengan tashawwur dan juga secara aksidental berkaitan dengan tashdiq.
Kulli adalah tashawwur (gambaran benak) yang dapat diterapkan (berlaku) pada beberapa benda di luar. Misalnya: gambaran tentang manusia dapat diterapkan (berlaku) pada banyak orang; Budi, Novel, Yani dan lainnya.
Juz'i adalah tashawwur yang dapat diterapkan (berlaku) hanya pada satu benda saja.
Misalnya: gambaran tentang Budi hanya untuk seorang yang bernama Budi saja. Manusia dalam berkomunikasi tentang kehidupan sehari-hari menggunakan tashawwur-thasawwur yang juz'i. Misalnya: Saya kemarin ke Jakarta; Adik saya sudah mulai masuk sekolah; Bapak saya sudah pensiun dan sebagainya. Namun, yang dipakai oleh manusia dalam kajian-kajian keilmuan adalah tashawwur-thasawwur kulli, yang sifatnya universal. Seperti: 2 x 2 = 4; Orang yang beriman adalah orang bertanggung jawab atas segala perbuatannya; Setiap akibat pasti mempunyai sebab dan lain sebagainya. Dalam ilmu mantiq kita akan sering menggunakan kulli (gambaran-gambaran yang universal), dan jarang bersangkutan dengan juz'i.
Nisab Arba'ah
Dalam benak kita terdapat banyak tashawwur yang bersifat kulli dan setiap yang kulli mempunyai realita (afrad) lebih dari satu. (Lihat definisi kulli ). Kemudian antara tashawwur kulli yang satu dengan yang lain mempunyai hubungan (relasi). Ahli mantiq menyebut bentuk hubungan itu sebagai "Nisab Arba'ah".
Mereka menyebutkan bahwa ada empat kategori relasi:
[1] Tabâyun (diferensi),
[2] Tasâwi (ekuivalensi),
[3] Umum wa khusus Mutlaq (implikasi) dan
[4] Umum wa Khusus Minwajhin (asosiasi).
1. Tabâyun adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya tidak bisa diterapkan pada seluruh afrad tashawwur kulli yang lain. Dengan kata lain, afrad kulli yang satu tidak mungkin sama dan bersatu dengan afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwur batu. Kedua tashawwur ini sangatlah berbeda dan afradnya tidak mungkin sama. Setiap manusia pasti bukan batu dan setiap batu pasti bukan manusia.
2. Tasâwi adalah dua tashawwur kulli yang keduanya bisa diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain. Misal: tashawwur manusia dan tashawwurt berpikir. Artinya setiap manusia dapat berpikir dan setiap yang berpikir adalah manusia.
3. Umum wa khusus mutlak adalah dua tashawwur kulli yang satu dapat diterapkan pada seluruh afrad kulli yang lain dan tidak sebaliknya.
Misal: tashawwur hewan dan tashawwur manusia. Setiap manusia adalah hewan dan tidak setiap hewan adalah manusia. Afrad tashawwur hewan lebih umum dan lebih luas sehingga mencakup semua afrad tashawwur manusia.
4. Umum wa khusus min wajhin adalah dua tashawwur kulli yang masing-masing dari keduanya dapat diterapkan pada sebagian afrad kulli yang lain dan sebagian lagi tidak bisa diterapkan.
Misal: tashawwur manusia dan tashawwur putih. Kedua tashawwur kulli ini bersatu pada seorang manusia yang putih, tetapi terkadang keduanya berpisah seperti pada orang yang hitam dan pada kapur tulis yang putih.
Hudud dan Ta'rifat
Kita sepakat bahwa masih banyak hal yang belum kita ketahui (majhul). Dan sesuai dengan fitrah, kita selalu ingin dan mencari tahu tentang hal-hal yang masih majhul.
Pertemuan lalu telah dibahas bahwa manusia memiliki ilmu dan pengetahuan (ma'lûm), baik tashawwuri ataupun tashdiqi. Majhul (jahil) sebagai anonim dari ma'lûm (ilmu), juga terbagi menjadi dua majhul tashawwuri dan majhul tashdiqi. Untuk mengetahui hal-hal majhul tashawwuri, kita membutuhkan ma'lûm tashaswwuri. (Lihat definisi berpikir. Pencarian majhul tashawwur dinamakan "had" atau "ta'rif".
Had/ta'rif adalah sebuah jawaban dan keterangan yang didahului pertanyaan "Apa?".
Saat menghadapi sesuatu yang belum kita ketahui (majhul), kita akan segara bertanya "apa itu?". Artinya, kita bertanya tentang esensi dan hakikat sesuatu itu. Jawaban dan keterangan yang diberikan adalah had (definisi) dari sesuatu itu.
Oleh karena itu, dalam disiplin ilmu, mendefinisikan suatu materi yang akan dibahas penting sekali sebelum membahas lebih lanjut masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Perdebatan tentang sesuatu materi akan menjadi sia-sia kalau definisinya belum jelas dan disepakati. Ilmu mantiq bertugas menunjukkan cara membuat had atau definisi yang benar.
Macam-Macam Definisi (Ta'rif)
Setiap definisi bergantung pada kulli yang digunakan. Ada lima kulli yang digunakan untuk mendefinisikan majhul tashawwuri (biasa disebut "kulliyat khamsah").
Lima kulli itu adalah: [1] Nau' (spesies),[2] jins (genius), [3] fashl (diferentia), [4] 'aradh 'aam (common accidens) dan [5] 'aradh khas (proper accidens). Pembahasan tentang kulliyat khamsah ini secara detail termasuk pembahasan filsafat, bukan pembahasan mantiq.
1. Had Tâm, adalah definisi yang menggunakan jins dan fashl untuk menjelaskan bagian-bagian dari esensi yang majhul. Misal: Apakah manusia itu? Jawabannya adalah "Hewan yang berpikir (natiq)". "Hewan" adalah jins manusia, dan "berpikir" adalah fashl manusia. Keduanya merupakan bagian dari esensi manusia.
2. Had Nâqish, adalah definisi yang menggunakan jins saja. Misal: "Manusia adalah hewan". Hewan adalah salah satu dari esensi manusia.
3. Rasam Tâm, adalah definisi yang mengunakan 'ardh khas. Misal: "Manusia adalah wujud yang berjalan, tegak lurus dan dapat tertawa". "Maujud yang berjalan", "tegak lurus" dan "tertawa" bukan bagian dari esensi manusia, tetapi hanya bagian yang eksiden.
4. Rasam Nâqish, adalah definisi yang menggunakan 'ardh 'âm, misalnya, "Manusia adalah wujud yang berjalan".
Qadhiyyah (Proposisi)
Sebagaimana yang telah kita ketahui, tashdiqi adalah penilaian dan penghukuman atas sesuatu dengan sesuatu yang lain (seperti: gunung itu indah; manusia itu bukan kera dan lain sebagainya). Atas dasar itu, tashdiq berkaitan dengan dua hal: maudhu' dan mahmul ("gunung" sebagai maudhu' dan "indah" sebagai mahmul). Gabungan dari dua sesuatu itu disebut qadhiyyah (proposisi).
Macam-macam Qadhiyyah
Setiap qadhiyyah terdiri dari tiga unsur: 1) mawdhu', 2) mahmul dan 3) rabithah (hubungan antara mawdhu' dan mahmul). Berdasarkan masing-masing unsur itu, qadhiyyah dibagi menjadi beberapa bagian.
Berdasarkan rabithah-nya, qadhiyyah dibagi menjadi dua: hamliyyah (proposisi kategoris) dan syarthiyyah (proposisi hipotesis).
Qadhiyyah hamliyyah adalah qadhiyyah yang terdiri dari mawdhu', mahmul dan rabithah.
Lebih jelasnya, ketika kita membayangkan sesuatu, lalu kita menilai atau menetapkan atasnya sesuatu yang lain, maka sesuatu yang pertama disebut mawdhu' dan sesuatu yang kedua dinamakan mahmul dan yang menyatukan antara keduanya adalah rabithah. Misalnya: "gunung itu indah". "Gunung" adalah mawdhu', "indah" adalah mahmul dan "itu" adalah rabithah (Qadhiyyah hamliyyah, proposisi kategorik)
Terkadang kita menafikan mahmul dari mawdhu'. Misalnya, "gunung itu tidak indah". Yang pertama disebut qadhiyyah hamliyyah mujabah (afirmatif) dan yang kedua disebut qadhiyyah hamliyyah salibah (negatif).
Qadhiyyah syarthiyyah terbentuk dari dua qadhiyyah hamliyah yang dihubungkan dengan huruf syarat seperti, "jika" dan "setiap kali".
Contoh: jika Tuhan itu banyak, maka bumi akan hancur. "Tuhan itu banyak" adalah qadhiyyah hamliyah; demikian pula "bumi akan hancur" sebuah qadhiyyah hamliyah. Kemudian keduanya dihubungkan dengan kata "jika". Qadhiyyah yang pertama (dalam contoh, Tuhan itu banyak) disebut muqaddam dan qadhiyyah yang kedua (dalam contoh, bumi akan hancur) disebut tali.
Qadhiyyah syarthiyyah dibagi menjadi dua: muttasilah dan munfasilah. Qadhiyyah syarthiyyah yang menggabungkan antara dua qadhiyyah seperti contoh di atas disebut muttasilah, yang maksudnya bahwa adanya "keseiringan" dan "kebersamaan" antara dua qadhiyyah. Tetapi qadhiyyah syarthiyyah yang menunjukkan adanya perbedaan dan keterpisahan antara dua qadhiyyah disebut munfasilah, seperti, Bila angka itu genap, maka ia bukan ganjil. Antara angka genap dan angka ganjil tidak mungkin kumpul.
Qadhiyyah Mahshurah dan Muhmalah
Pembagian qadhiyyah berdasarkan mawdhu'-nya dibagi menjadi dua: mahshurah dan muhmalah. Mahshurah adalah qadhiyyah yang afrad (realita) mawdhu'-nya ditentukan jumlahnya (kuantitasnya) dengan menggunakan kata "semua" dan "setiap" atau "sebagian" dan "tidak semua". Contohnya, semua manusia akan mati atau sebagian manusia pintar. Sedangkan dalam muhmalah jumlah afrad mawdhu'-nya tidak ditentukan. Contohnya, manusia akan mati, atau manusia itu pintar.
Dalam ilmu mantiq, filsafat, eksakta dan ilmu pengetahuan lainnya, qadhiyyah yang dipakai adalah qadhiyyah mahshurah.
Qadhiyyah mahshurah terkadang kulliyah (proposisi determinatif general) dan terkadang juz'iyyah (proposisi determinatif partikular) dan qadhiyyah sendiri ada yang mujabah (afirmatif) dan ada yang salibah (negatif) . Maka qadhiyyah mahshurah mempunyai empat macam:
1. Mujabah kulliyyah : Setiap manusia adalah hewan
2. Salibah kulliyyah : Tidak satupun manusia yang berupa batu.
3. Mujabah juz'iyyah : Sebagian manusia pintar
4. Salibah juz'iyyah : Sebagian manusia bukan laki-laki.
Sebenarnya masih banyak lagi pembagian qadhiyyah baik berdasarkan mahmul-nya (qadhiyyah muhassalah dan mu'addlah), atau jihat qadhiyyah (dharuriyyah, daimah dan mumkinah) dan qadhiyyah syarthiyyah muttasilah (haqiqiyyah, maani'atul jama' dan maani'atul khulw). Namun qadhiyyah yang paling banyak dibahas dalam ilmu filsafat, mantiq dan lainnya adalah qadhiyyah mahshurah.
Hukum-Hukum Qadhiyyah
Setelah kita ketahui definisi dan pembagian qadhiyyah, maka pembahasan berikutnya adalah hubungan antara masing-masing dari empat qadhiyyah mahshurah.
Pada pembahasan terdahulu telah kita ketahui bahwa terdapat empat macam hubungan antara empat tashawwuri kulli: [1] tabâyun, [2] tasâwi, [3] umum wa khusus mutlak dan [4] umum wa khusus min wajhin.
Demikian pula terdapat empat macam hubungan antara masing-masing empat qadhiyyah mahshurah: [1] tanaqudh, [2] tadhadd, [3] dukhul tahta tadhadd dan [4] tadakhul.
1. Tanaqudh (mutanaqidhain [kontradiktif]) adalah dua qadhiyyah yang mawdhu' dan mahmul-nya sama, tetapi kuantitas (kam) dan kualitasnya (kaif) berbeda, yakni yang satu kulliyah mujabah dan yang lainnya juz'iyyah salibah. Misalnya, "Semua manusia hewan" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia bukan hewan" (juz'iyyah salibah).
2. Tadhad (kontrariatif) adalah dua qadhiyah yang sama kuantitasnya (keduanya kulliyyah), tetapi yang satu mujabah dan yang lain salibah. Misalnya, "Semua manusia dapat berpikir" (kulliyyah mujabah) dengan "Tidak satupun dari manusia dapat berpikir" (kulliyyah salibah).
3. Dukhul tahta tadhad (dakhilatain tahta tadhad [interferensif sub-kontrariatif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kuantitasnya (keduanya juz'iyyah), tetapi yang satu mujabah dan lain salibah. Misalnya: "Sebagian manusia pintar" (juz'iyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia tidak pintar" (juz'iyyah salibah).
4. Tadakhul (mutadakhilatain [interferensif]) adalah dua qadhiyyah yang sama kualitasnya tetapi kuantitasnya berbeda. Misalnya: "Semua manusia akan mati" (kulliyyah mujabah) dengan "Sebagian manusia akan mati" (juz'iyyah mujabah) atau "Tidak satupun dari manusia akan kekal" (kulliyyah salibah) dengan "Sebagian manusia tidak kekal" (juz'iyyah salibah). Dua qadhiyyah ini disebut pula
Hukum dua qadhiyyah mutanaqidhain (kontradiktif) jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lainnya pasti salah. Demikian pula jika yang satu salah, maka yang lainnya benar. Artinya tidak mungkin (mustahil) keduanya benar atau keduanya salah. Dua qadhiyyah biasa dikenal dengan ijtima' al naqidhain mustahil (kombinasi kontradiktif).
Hukum dua qadhiyyah mutadhaddain (kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu benar, maka yang lain pasti salah. Tetapi, jika salah satu salah, maka yang lain belum tentu benar. Artinya keduanya tidak mungkin benar, tetapi keduanya mungkin salah.
Hukum dua qadhiyyah dakhlatain tahta tadhad (interferensif sub-kontrariatif), jika salah satu dari dua qadhiyyah itu salah, maka yang lain pasti benar. Tetapi, jika yang satu benar, maka yang lain belum tentu salah. Dengan kata lain, kedua qadhiyyah itu tidak mungkin salah, tetapi mungkin saja keduanya benar.
Hukum dua qadhiyyah mutadakhilatain (interferentif), berbeda dengan masalah tashawwuri. (Lihat pembahasan tentang nisab arba'ah, pen); bahwa tashawwur kulli (misalnya, manusia) lebih umum dari tashawwur juz'i (misalnya, Ali). Di sini, qadhiyyah kulliyyah lebih khusus dari qadhiyyah juz'iyyah. Artinya, jika qadhiyyah kulliyyah benar, maka qadhiyyah juz'iyyah pasti benar.
Tetapi, jika qadhiyyah juz'iyyah benar, maka qadhiyyah kulliyyah belum tentu benar. Misalnya, jika "setiap A adalah B" (qadhiyyah kulliyyah), maka pasti "sebagian A pasti B". Tetapi jika "sebagian A adalah B", maka belum pasti "setiap A adalah B".
Tanaqudh
Salah satu hukum qadhiyyah yang menjadi dasar semua pembahasan mantiq dan filsafat adalah hukum tanaqudh (hukum kontradiksi). Para ahli mantiq dan filsafat menyebutkan bahwa selain mawdhu' dan mahmul dua qadhiyyah mutanaqidhain itu harus sama, juga ada beberapa kesamaan dalam kedua qadhiyyah tersebut. Kesamaan itu terletak pada:
1. Kesamaan tempat (makan)
2. Kesamaan waktu (zaman)
3. Kesamaan kondisi (syart)
4. Kesamaan korelasi (idhafah)
5. Kesamaan pada sebagian atau keseluruhan (juz dan kull )
6. Kesamaan dalam potensi dan aktual (bil quwwah dan bil fi'li). Qiyas (silogisme)
Pembahasan tentang qadhiyyah sebenarnya pendahuluan dari masalah qiyas, sebagaimana pembahasan tentang tashawwur sebagai pendahuluan dari hudud atau ta'rifat. Dan sebenarnya inti pembahasan mantiq adalah hudud dan qiyas.
Qiyas adalah kumpulan dari beberapa qadhiyyah yang berkaitan yang jika benar, maka dengan sendirinya (li dzatihi) akan menghasilkan qadhiyyah yang lain (baru).
Sebelum kita lebih lnjut membahas tentang qiyas, ada baiknya kita secara sekilas beberapa macam hujjah (argumentasi ). Manusia disaat ingin mengetahui hal-hal yang majhul, maka terdapat tiga cara untuk mengetahuinya:
1. Pengetahuan dari juz'i ke juz'i yang lain. Argumenatsi ini sifatnya horisontal, dari sebuah titik yang parsial ke titik parsial lainnya. Argumentasi ini disebut tamtsil (analogi).
2. Pengetahuan dari juz'i ke kulli. Atau dengan kata lain, dari khusus ke umum (menggeneralisasi yang parsial) Argumentasi ini bersifat vertikal, dan disebut istiqra' (induksi).
3. Pengetahuan dari kulli ke juz'i. Atau dengan kata lain, dari umum ke khusus. Argumentasi ini disebut qiyas (silogisme).
Macam-macam Qiyas
Qiyas dibagi menjadi dua; iqtirani (silogisme kategoris) dan istitsna'i (silogisme hipotesis). Sesuai dengan definisi qiyas di atas, satu qadhiyyah atau beberapa qadhiyyah yang tidak dikaitkan antara satu dengan yang lain tidak akan menghasilkan qadhiyyah baru. Jadi untuk memberikan hasil (konklusi) diperlukan beberapa qadhiyyah yang saling berkaitan. Dan itulah yang namanya qiyas.
1. Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani adalah qiyas yang mawdhu' dan mahmul natijahnya berada secara terpisah pada dua muqaddimah. Contoh: "Kunci itu besi" dan "setiap besi akan memuai jika dipanaskan", maka "kunci itu akan memuai jika dipanaskan".
Qiyas ini terdiri dari tiga qadhiyyah; [1] Kunci itu besi, [2] setiap besi akan memuai jika dipanaskan dan [3] kunci itu akan memuai jika dipanaskan. Qadhiyyah pertama disebut muqaddimah shugra (premis minor), qadhiyyah kedua disebut muqaddimah kubra (premis mayor) dan yang ketiga adalah natijah (konklusi).
Natijah merupakan gabungan dari mawdhu' dan mahmul yang sudah tercantum pada dua muqaddimah, yakni, "kunci" (mawdhu') dan "akan memuai jika dipanaskan" (mahmul). Sedangkan "besi" sebagai had awshat.
Yang paling berperan dalam qiyas adalah penghubung antara mawdhu' muqadimah shugra dengan mahmul muqaddimah kubra. Penghubung itu disebut had awsath. Had awsath harus berada pada kedua muqaddimah (shugra dan kubra) tetapi tidak tecantum dalam natijah. (Lihat contoh, pen).
Empat Bentuk Qiyas Iqtirani
Qiyas iqtirani kalau dilihat dari letak kedudukan had awsath-nya pada muqaddimah shugra dan muqaddimah kubra mempunyai empat bentuk :
1. Syakl Awwal adalah Qiyas yang had awsth-nya menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra. Misalnya, "Setiap Nabi itu makshum", dan "setiap orang makshum adalah teladan yang baik", maka "setiap nabi adalah teladan yang baik". "Makshum" adalah had awsath, yang menjadi mahmul pada muqaddimah shugra dan menjadi mawdhu' pada muqaddimah kubra.
Syarat-syarat syakl awwal.
Syakl awwal akan menghasilkan natijah yang badihi (jelas dan pasti) jika memenuhi dua syarat berikut ini:
a. Muqaddimah shugra harus mujabah.
b. Muqaddimah kubra harus kulliyah.
2. Syakl Kedua adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mahmul pada kedua muqaddimah-nya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "tidak satupun pendosa itu makshum", maka "tidak satupun dari nabi itu pendosa".
Syarat-syarat syakl kedua.
a. Kedua muqaddimah harus berbeda dalam kualitasnya (kaif, yakni mujabah dan salibah).
b. Muqaddimah kubra harus kulliyyah.
3. Syakl Ketiga adalah Qiyas yang had awshat-nya menjadi mawdhu' pada kedua muqaddimahnya. Misalnya, "Setiap nabi makshum", dan "sebagian nabi adalah imam", maka "sebagian orang makshum adalah imam".
Syarat-syarat Syakl ketiga.
a. Muqaddimah sughra harus mujabah.
b. Salah satu dari kedua muqaddimah harus kulliyyah.
4. Syakal Keempat adalah Qiyas yang had awsath-nya menjadi mawdhu' pada muqaddimah shugra dan menjadi mahmul pada muqaddimah kubra (kebalikan dari syakl awwal.)
Syarat-syarat Syakl keempat.
a. Kedua muqaddimahnya harus mujabah.
b. Muqaddimah shugra harus kulliyyah. Atau
c. Kedua muqaddimahnya harus berbeda kualitasnya (kaif)
d. Salah satu dari keduanya harus kulliyyah.

Catatan: Menurut para mantiqiyyin, bentuk qiyas iqtirani yang badihi (jelas sekali) adalah yang pertama sedangkan yang kedua dan ketiga membutuhkan pemikiran. Adapun yang keempat sangat sulit diterima oleh pikiran. Oleh karena itu Aristoteles sebagai penyusun mantiq yang pertama tidak mencantumkan bentuk yang keempat.
Qiyas Istitsna'i
Berbeda dengan qiyas iqtirani, qiyas ini terbentuk dari qadhiyyah syarthiyyah dan qadhiyyah hamliyyah. Misalnya, "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Oleh karena dia mempunyai mukjizat, berarti dia utusan Allah". Penjelasannya: "Jika Muhammad itu utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah syarthiyyah yang terdiri dari muqaddam dan tali (lihat definisi qadhiyyah syarthiyyah), dan "Dia mempunyai mukjizat" adalah qadhiyyah hamliyyah. Sedangkan "maka dia mempunyai mukjizat" adalah natijah.
Dinamakan istitsna'i karena terdapat kata " tetapi", atau "oleh karena". Macam-Macam Qiyas istitsna'i (silogisme) Ada empat macam qiyas istitsna'i:
Muqaddam positif dan tali positif. Misalnya, "Jika Muhammad utusan Allah, maka dia mempunyai mukjizat. Tetapi Muhammad mempunyai mukjizat berarti Dia utusan Allah".
Muqaddam negatif dan tali positif. Misalnya, "Jika Tuhan itu tidak satu, maka bumi ini akan hancur. Tetapi bumi tidak hancur, berarti Tuhan satu (tidak tidak satu)".
Tali negatif dan muqaddam negatif. Misalnya, "Jika Muhammad bukan nabi, maka dia tidak mempunyai mukjizat. Tetapi dia mempunyai mukjizat, berarti dia Nabi (bukan bukan nabi)".
Tali negatif dan muqaddam positif. Misalnya, "Jika Fir'aun itu Tuhan, maka dia tidak akan binasa. Tetapi dia binasa, berarti dia bukan Tuhan".
(Makalah Ust. Husein Al-Kaff dalam Kuliah Logika "Pengantar Menuju Filsafat Islam" di Yayasan Pendidikan Islam Al-Jawad pada tanggal 25 Oktober -1 November 1999 M)
________________________________________
Date: Thu, 8 Jun 2000 16:56:05 +0700
From: "SONYMAN"
To: "Is-Lam@Isnet.Org" ,

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

FADHILAH SHALAT TARAWIH

Shalat tarawih di bulan ramadan hukumnya sunnah muakkad bagi umat islam dikerjakan 20 raka'at.Oleh sebab itu usahakan kita jangan sampai meninggalkan bulan ramadhan .berikut ini adalah fadhilah / pahala shalat tarawih tiap malamnya:

Malam ke-1 : Orang mu’min diampuni dosanya ,bersih seperti bayi lahir dari kandungan ibunya

Malam ke-2 :Allah mengampuni dosa kita dan kedua orang tua(Bapak-ibu)kita

Malam ke-3 :Malaikat memanggil dari alam ‘Arasy,berseru:”Segeralah kamu beramal,Allah mengampuni dosa-dosamu terdahulu”

Malam ke-4 diberi pahala Sebanyak membaca Taurat,Injil,Zabur,Al-Qur’an

Malam ke-5 diberi pahala sebanyak shalat di Masjidil haram,Masjidil Aqsha,dan Masjid Nabawi

Malam ke-6 diberi pahala sebanyak pahala tawaf di Baitul Makmur,dan setiap batu-batuan dan Tanah liat beristighfar untuknya

Malam ke-7 :Seolah-olah bertemu Nabi Musa berjuang bersama melawan Firaun dan Haman

Malam ke-8 diberi segala apa yang diterima oleh Nabi Ibrahim

Malam ke-9 :Seolah-olah beribadah seperti yang dikerjakan Nabi Muhammad SAW

Malam ke-10 diberi kebaikan dunia akhirat

Malam ke-11 :ketika meniggal dunia bersih dari segala dosa seperti bayi yang baru dilahirkan

Malam ke-12 :Wajah kita akan bercahaya seperti bulan purnama dihari kiamat

Malam ke-13 :Kelak dihari kiamat akan aman dari segala kejahatan

Malam ke-14 dibebaskan dari hisab,dan para malaikat memberi kesaksian atas ibadah tarawih kita

Malam ke-15 :malaikat bershalawat pada kita,penaggung ‘Arasy dan kursi

Malam ke-16 dibebaskan dari segala siksa neraka dan bebas pula masuk surga

Malam ke-17 diberi pahala yang diterima para nabi

Malam ke-18 : Malaikat memanggil “Ya hamba Allah,engkau dan kedua orang tuamu telah diridhai oleh Allah SWT

Malam ke-19 ditinggikan derajatnya di surga Firdaus

Malam ke-20 diberi pahala syuhada dan shalihin

Malam ke-21 dibangunkan sebuah gedung Nur/mahligai di surga

Malam ke-22 :Akan aman dihari kiamat dari bencana yang menyedihkan dan menggelisahkan

Malam ke-23 : Dibangunkan sebuah kota di surga

Malam ke-24 doa yang dipanjatkan sebanyak 24 doa akan dia kabulkan

Malam ke-25 dibebaskan dari siksa kubur

Malam ke-26 ditingkatkan pahalanya 40 tahun

Malam ke-27 :Melintasi jembatan shirat bagai kilat menyambar

Malam ke-28 ditinggikan derajatnya 1000 tingkat disurga

Malam ke-29 diberi pahala sebanyak 1000 haji mabrur

Malam ke-30 diseru Allah SWT dengan firmanNya,”Ya Hambaku,silakan makan buah-buahan Surga,silakan mandi air Salsabil,dan minumlah dari telaga Kautsar,Akulah Tuhanmu dan kamu adalah hambaku”

sumber: kitab durratun nashihiin hal 18-19
mudah2an sekarang kita telah mengetahui semua pahala shalat tarawih.Semoga kita dapat melaksanakan dengan sempurna dengan jumlah 20 raka'at sesuai sunnah dan ijma' shahabat. Amien... Yaa rabbal 'alamiin

TERIMA KASIH ANDA TELAH MENGUNJUNGI BLOG KAMI

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

TERIMA KASIH ANDA TELAH BERGABUNG DENGAN KAMI

SYA'IR CERITA ALAM QUBUR

CERITA DALAM KUBUR

Alkisah mula disebutkan *** suatu fasal kita nyatakan
Sekedar ingin maka disyairkan *** menjadi sunat semua yang mendengarkan

Hendaklah ingat wahai ikhwani *** janganlah lupa didunia ini
Suka bermain kesana sini *** hidupnya kita akanlah fani

Janganlah riya jangan takabbur *** pandang olehmu kepada kubur
Di sana tempat tubuh nan lebur *** hancurlah luluh seperti bubur

Sewaktu badan sehat sentosa *** kerjakan ibadah senantiasa
Jikalau sudah letih dan lasa *** berbagi-bagi sakit dirasa

Tatkala kita hampirlah mati *** datang penyakit tiada berhenti
Shahabat handai datang mengobati *** usahkan baik tambah menyakiti

Lemahlah badan tiada berdaya *** hilanglah akal daya upaya
Sudah ditakdirkan Tuhan Yang Kaya *** anak dan istri tinggallah dia

Tatkala nyawa hendak melayang *** nafaspun singkat dagu bergoyang
Mendam seperti mabuk kepayang *** semua pemandang merasa senang

Sewaktu nyawa hendak tercabut *** baru di situ sesal di sebut
Panas dan radang minta dikebut *** naik dan turun nafas berebut

Badan seperti batang terguling *** kekanan dan kekiri tiada berpaling
Semua saudara duduk keliling *** ada menangis memegang guling

Badan letih dhaif terlentang *** tidak bergerak seperti batang
Mata tersuruk ke atas menantang *** shahabat handai semuanya datang

Datanglah ulama hilir dan hulu *** mengajar syahadat bertalu-talu
Hendak menyebut sukar terlalu *** bibir nan berat lidah pun kelu

Banyaklah sesal kemabali tak boleh *** muka nan tidak dapat menoleh
Sakit terasa sebagai disembelih *** air mata tercucur sambil meleleh

Datang haji faqir dan qari *** membaca Yasiin kanan dan kiri
Yang sakit tidak sadarkan diri *** nafaspun singkat mata berdiri

SYA'IR CERITA ALAM QUBUR

CERITA DALAM KUBUR

Alkisah mula disebutkan *** suatu fasal kita nyatakan
Sekedar ingin maka disyairkan *** menjadi sunat semua yang mendengarkan

Hendaklah ingat wahai ikhwani *** janganlah lupa didunia ini
Suka bermain kesana sini *** hidupnya kita akanlah fani

Janganlah riya jangan takabbur *** pandang olehmu kepada kubur
Di sana tempat tubuh nan lebur *** hancurlah luluh seperti bubur

Sewaktu badan sehat sentosa *** kerjakan ibadah senantiasa
Jikalau sudah letih dan lasa *** berbagi-bagi sakit dirasa

Tatkala kita hampirlah mati *** datang penyakit tiada berhenti
Shahabat handai datang mengobati *** usahkan baik tambah menyakiti

Lemahlah badan tiada berdaya *** hilanglah akal daya upaya
Sudah ditakdirkan Tuhan Yang Kaya *** anak dan istri tinggallah dia

Tatkala nyawa hendak melayang *** nafaspun singkat dagu bergoyang
Mendam seperti mabuk kepayang *** semua pemandang merasa senang

Sewaktu nyawa hendak tercabut *** baru di situ sesal di sebut
Panas dan radang minta dikebut *** naik dan turun nafas berebut

Badan seperti batang terguling *** kekanan dan kekiri tiada berpaling
Semua saudara duduk keliling *** ada menangis memegang guling

Badan letih dhaif terlentang *** tidak bergerak seperti batang
Mata tersuruk ke atas menantang *** shahabat handai semuanya datang

Datanglah ulama hilir dan hulu *** mengajar syahadat bertalu-talu
Hendak menyebut sukar terlalu *** bibir nan berat lidah pun kelu

Banyaklah sesal kemabali tak boleh *** muka nan tidak dapat menoleh
Sakit terasa sebagai disembelih *** air mata tercucur sambil meleleh

Datang haji faqir dan qari *** membaca Yasiin kanan dan kiri
Yang sakit tidak sadarkan diri *** nafaspun singkat mata berdiri

Kamis, 27 Agustus 2009

CINTA ABADI QAIS DAN LAILA

Cinta Laila Majnun

Agustus 1, 2008 oleh MIIQ DM

Hanya ingin menumpah kata

Laila Majnun, sebuah kisah dari cerita rakyat arab, tentang kecantikan seorang gadis bernama Laila, yang menarik hati seorang pemuda, Qais keturunan Bani Amir.

Qais yang semula pandai, gagah dan berasal dari kabilah terhormat, menjadi majnun alias gila, karena kasihnya yang tak sampai. Qais, yang tersiksa karena takdir yang selalu memusuhinya, sedang hasrat tak mampu ditundukan hatinya, menjadikan dia lupa akan hakikat hidupnya sendiri. Walau kegilaan yang dialaminya mengilhami tutur bahasa sastra yang indah, dan ketulusan jiwa dalam derita cinta, tetap saja sebutan majnun tak dapat ditepisnya.

Kisah tentang Qais dan Laila yang hidup di suatu negeri wilayah tanah Arab. Qais yang berwajah tampan dan Laila yang terkenal akan kecantikannya, yang menjadi dambaan setiap laki-laki. Akhirnya cinta mereka kandas karena adat melarang mereka untuk mengekspresikan gelora cintanya. Maka, tumpah ruahlah segala rasa rindu dan cinta dalam bentuk syair dan puisi yang mengalir menentang takdir mereka.

Suatu ketika Qais memutuskan ikut berniaga ke negeri lain bersama ayahnya agar kelak ia memiliki bekal pengetahuan sendiri tentang perniagaan. Ketika pamit kepada Laila, Qais memberikan seuntai kalung mutiara sebagai tanda kesetiaannya. Qais minta Laila berjanji untuk melepaskan sebuah mutiara dari untaiannya apabila waktu sudah menunjukkan bulan baru. Ia pun berjanji akan kembali sebelum untaian mutiara habis.

Meskipun sangat sedih, Laila merelakan kekasihnya pergi mencari pengalaman.

Sepeninggal Qais, Laila hanya bermenung diri dan menciptakan syair sebagai pelambang rindu. Suatu hari, ayah Laila, Al-Mahdi, pulang ke rumah bersama seorang tamu bernama Sad bin Munif, yang diajak menginap. Tamu itu seorang saudagar kaya raya yang berasal dari Irak. Ketika berjumpa Laila, Sad bin Munif langsung jatuh cinta dan melamar Laila kepada ayahnya. Tanpa sepengetahuan Laila, Al-Mahdi menerima lamaran tersebut karena tergiur oleh mas kawin 1.000 dinar dan harta kekayaan Sad bin Munif. Laila tak berdaya melawan perintah ayahnya karena adat memang menyatakan bahwa laki-laki berkuasa atas perempuan. Sementara itu, Qais yang telah memasuki bulan ke-9 ikut berniaga ke negeri-negeri seperti Damsjik, Jerusalem, Hims, Halab, Anthakijah, Irak, Koefah, hingga Basrah tidak dapat lagi menahan rindunya terhadap Laila. Wajahnya tampak muram dan badannya semakin kurus.

Ayah Qais melihat kesedihan anaknya dan menanyakan ada apakah gerangan yang telah mengganggu pikirannya. Akhirnya Qais berterus terang tentang kisah cintanya dengan Laila. Demi mendengar penuturan anaknya, Al-Mulawwah memutuskan segera kembali ke kampung halamannya dan berjanji akan melamar Laila untuk Qais. Ketika sampai kampung halaman, Al-Mulawwah bergegas menemui ayah Laila dan menawarkan 100 unta sebagai pengganti uang 1.000 dinar yang telah diberikan Sad bin Munif. Akan tetapi, dengan sombongnya, ayah Laila menolak lamaran Al-Mulawwah. Tak berapa lama kemudian, pesta perkawinan Laila dan Sa�d bin Munif diselenggarakan secara besar-besaran. Maka, hancur luluhlah hati Qais. Tak ada satu obat pun yang bisa menyembuhkan sakitnya ini, meskipun orangtuanya telah mendatangkan banyak tabib ternama. Sejak itu Qais tidak mau berbicara kepada orang lain, ia sibuk dengan dirinya sendiri dan sering kali terlihat berbicara sendiri. Karena perilaku aneh inilah orang sekampungnya memanggil Qais dengan Majnun, yang berarti kurang sempurna pikirannya.

Akan halnya Laila, meskipun kini telah menjadi istri Sad bin Munif, ia tetap mencintai Qais. Menurut Laila, secara fisik ia boleh menjadi istri Sad bin Munif, tetapi jiwanya tetap untuk Qais. Dalam ungkapannya, di dunia Qais dan Laila bukanlah pasangan suami istri, tetapi di akhirat mereka menjadi pasangan abadi. Karena tak kuat menanggung penderitaan cinta ini, Laila sakit dan selalu memanggil nama Qais. Akhirnya Qais pun dipanggil untuk menemui Laila. Ketika mereka bertemu, Laila memberi pesan terakhir bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai sepasang kekasih. Demi melihat kekasihnya meninggal, putus asalah Qais. Tak ada lagi keinginannya untuk hidup. Sehari-hari kerjanya hanya duduk di pusara Laila hingga akhirnya Qais meninggal. Maka, jasad Qais pun dibaringkan di samping pusara Laila.

Kira-kira 10 tahun kemudian, beberapa musafir menziarahi kubur mereka berdua. Di atas kedua pusara itu telah tumbuh dua rumpun bambu yang pucuknya saling berpelukan. Maka, masyhurlah kisah ini sebagai kisah Laila-Majnun.

Cinta memang tidak datang tiba-tiba, juga tidak dapat padam seketika.
Tak seorangpun dapat mengelak jika gelora asmara tiba-tiba menggelegak.
Tak ada jiwa yang dapat menyangka, jika badai cinta menggelora di dada.

Cerita roman yang penuh puisi cinta dan pengorbanan, menjadi inspirasi para pemuja cinta, yang rela mengorbankan hidupnya demi cita-cita absurd yang bertema cinta.

Persis cerita shakespeare tentang Romeo & Juliet yang berujung bunuh diri karena tak sudi menyerah atas perjuangan cintanya, cerita film Titanic tentang Rose DeWitt & Jack Dawson, yang �gagal� mewujudkan cinta mereka dan tenggelam bersama Titanic yang perkasa, cerita epik � romantik ini selalu menjadi contoh khayal para pemujanya, yang selalu mengagungkan cita-cita cinta mereka.

Laskar cinta, rekaan Dhani Ahmad, adalah salah satu lagu yang banyak digandrungi orang karena nada dan liriknya yang seolah meng-kampanyekan keagungan cinta.

Banyak orang yang tergelincir kedalam kekufuran karena api cinta yang menyala-nyala. Banyak orang tersesat dari jalan surga, karena tipu daya syahwat yang berbungkus cinta.

Banyak orang yang termehe-mehe (baca: melankolis, mengurai air mata) ketika mendengarkan lagu-lagu Chrisye bertemakan cinta.

Padahal, cinta sejati seorang muslim adalah cintanya terhadap Allah SWT & Rasul. Apapun yang diperbuatnya, selalu menginginkan pertemuannya dengan Allah &Rasul di akhirat kelak. Cinta yang berlandaskan keimanan, seolah mengorbankan keluhuran jiwa dan kemurnian hati, yang dinamakan cinta. Padahal cinta terhadap kekasih hati, belahan jiwa, tumpuan asa, tidak pernah diharamkan oleh agama. Tetapi itu semua haruslah demi meningkatkan keimanan dan ketakwaan terhadap Sang Pecipta, Allah Robb Al Amin..

Laila Majnun hanyalah sebuah kisah cinta sepasang manusia biasa, yang mungkin menerpa kita juga. Tak perlu kita mengagungkan perjuangan cintanya karena hal itu sama saja menggugat takdir yang diberikan Allah.

Cinta adalah bumbu kehidupan yang menjadikan indahnya perjalanan hidup manusia.

Cinta bukanlah tujuan dari keberadaan manusia di dunia, bukan pula akhir dari perjuangan di alam fana. Cinta hanyalah kendaraan untuk meraih kebahagiaan sejati, yaitu keridloan Allah untuk mendapatkan surga, yang luasnya seluas bumi dan langit.

ULUMUL HADITS

PENGANTAR ILMU HADITS
PENDAHULUAN
Pada awalnya Rasulullah shollollahu’alaihiwasallam melarang para sahabat menuliskan Hadits, karena dikhawatirkan akan bercampur-baur penulisannya dengan Al-qur’an. Perintah untuk menuliskan Hadits yang pertama kali adalah oleh khalifah Umar bin abdul aziz. Beliau menulis surat kepada gubernurnya di Madinah yaitu Abu bakar bin Muhammad bin amr hazm al-alsory untuk membukukan Hadits. Ulama yang pertama kali mengumpulkan Hadits adalah Ar-robi bin sobiy dan Said bin abi arobah, akan tetapi pengumpulan Hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang sohih dengan, dhoif, dan perkataan para sahabat.
Pada kurun ke-2 imam Malik menulis kitab Al-muwatho di Madinah, di Makkah Hadits dikumpulkan oleh Abu muhammad abdul malik bin ibnu juraiz, di Syam oleh imam Al-auza i, di Kuffah oleh Sufyan at-tsauri, di Basroh oleh Hammad bin salamah.
Pada awal abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab-kitab musnad (seperti musnad Na’im ibnu hammad). Pada pertengahan abad ke-3 hijriyah mulai dikarang kitab shohih Bukhori dan Muslim.
PEMBAHASAN
Ilmu Hadits :
Ilmu yang membahas kaidah-kaidah untuk mengetahui kedudukan sanad dan matan, apakah diterima atau ditolak.
Hadits :
Apa-apa yang disandarkan kepada Rasulullah shollollahu’alaihiwasallam, berupa perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat (lahiriyah dan batiniyah).
Sanad :
Mata rantai perawi yang menghubungkannya ke matan.
Matan :
Perkataan-perkataan yang dinukil sampai ke akhir sanad.
PEMBAGIAN HADITS
Dilihat dari konsekuensi hukumnya :
1) Hadits Maqbul (diterima) : terdiri dari Hadits sohih dan Hadits Hasan
2) Hadits Mardud (ditolak) : yaitu Hadits dhoif
Penjelasan :
HADITS SOHIH :
Yaitu Hadits yang memenuhi 5 syarat berikut ini :
§ Sanadnya bersambung (telah mendengar/bertemu antara para perawi).
§ Melalui penukilan dari perawi-perawi yang adil.
Perawi yang adil adalah perawi yang muslim, baligh (dapat memahami perkataan dan menjawab pertanyaan), berakal, terhindar dari sebab-sebab kefasikan dan rusaknya kehormatan (contoh-contoh kefasikan dan rusaknya kehormatan adalah seperti melakukan kemaksiatan dan bid’ah, termasuk diantaranya merokok, mencukur jenggot, dan bermain musik).
§ Tsiqoh (yaitu hapalannya kuat).
§ Tidak ada syadz (syadz adalah seorang perawi yang tsiqoh menyelisihi perawi yang lebih tsiqoh darinya.
§ Tidak ada illat atau kecacatan dalam Hadits
Hukum Hadits sohih : dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN :
Yaitu Hadits yang apabila perawi-perawinya yang hanya sampai pada tingkatan soduq (tingkatannya berada dibawah tsiqoh).
Soduq : tingkat kesalahannya 50: 50 atau di bawah 60% tingkat ke tsiqoan-nya.
Soduq bisa terjadi pada seorang perawi atau keseluruhan perawi pada rantai sanad.
Para ulama dahulu meneliti tingkat ketsiqo-an seorang perawi adalah dengan memberikan ujian, yaitu disuruh membawakan 100 hadits berikut sanad-sanadnya. Jika sang perawi mampu menyebutkan lebih dari 60 hadits (60%) dengan benar maka sang perawi dianggap tsiqoh.
Hukum Hadits Hasan : dapat diamalkan dan dijadikan hujjah.
HADITS HASAN SHOHIH
Penyebutan istilah Hadits hasan shohih sering disebutkan oleh imam Thirmidzi. Hadits hasan shohih dapat dimaknai dengan 2 pengertian :
§ Imam Thirmidzi mengatakannya karena Hadits tersebut memiliki 2 rantai sanad/lebih. Sebagian sanad hasan dan sebagian lainnya shohih, maka jadilah dia Hadits hasan shohih.
§ Jika hanya ada 1 sanad, Hadits tersebut hasan menurut sebagian ulama dan shohih oleh ulama yang lainnya.
HADITS MUTTAFAQQUN ‘ALAIHI
Yaitu Hadits yang sepakat dikeluarkan oleh imam Bukhori dan imam Muslim pada kitab shohih mereka masing-masing.
TINGKATAN HADITS SHOHIH
§ Hadits muttafaqqun ‘alaihi
§ Hadits shohih yang dikeluarkan oleh imam Bukhori saja
§ Hadits shohih yang dikeluarkan oleh imam Muslim saja
§ Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim, serta tidak dicantumkan pada kitab-kitab shohih mereka.
§ Hadits yang sesuai dengan syarat Bukhori
§ Hadits yang sesuai dengan syarat Muslim
§ Hadits yang tidak sesuai dengan syarat Bukhori dan Muslim
Syarat Bukhori dan Muslim : perawi-perawi yang dipakai adalah perawi-perawi Bukhori dan Muslim dalam shohih mereka.
HADITS DHOIF
Hadits yang tidak memenuhi salah satu/lebih syarat Hadits shohih dan Hasan.
Hukum Hadits dhoif : tidak dapat diamalkan dan tidak boleh meriwayatkan Hadits dhoif kecuali dengan menyebutkan kedudukan Hadits tersebut.
MARHABAN YAA RAMADHAN..........

Minggu, 23 Agustus 2009

FADHILAH PUASA RAMADHAN

MARHABAN YAA RAMADHAN..........

FADHILAH PUASA RAMADHAN

Dengan Menyebut nama Allah Yang Pemurah lagi Pengasih
“Wahai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan kepadamu berpuasa sebagaimana yang telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertakwa. Yaitu dalam hari-hari yang telah ditentukan (yakni satu bulan penuh). Maka siapa yang sakit diantaramu, atau tengah bepergian, maka wajiblah menggantiak puasa di hari-hari lain, sebagai pengganti hari-hari yang ditinggalkan.”
(QS Al- Baqarah 2: 183 -184)
latar belakang kewajiban puasa
Sehubungan dengan perang menundukkan nafsu syahwat, telah diceritakan dalam proses diwajibkannya puasa, demikian:
Bahwasanya Allah swt setelah selesai menciptakan akal, berfirman: “Hai akal menghadaplah kamu kepadaKu”, maka dengan segera akal menghadapNya. Lalu Allah menyuruhnya: “Mundurlah hai akal, maka ia segera mundur mentaati perintah Allah swt. Kemudian Allah bertanya: ” Hai akal, siapakah sebenarnya kamu dan Aku ini ?” jawabnya: ” Ya Allah, Engkaulah Tuhan sesembahanku, sedang aku hanyalah hambaMu yang lemah.” Akhirnya akal dipuji oleh Allah dengan firmanNya: “Hai akal, tiada makhluk yang Kuciptakan lebih mulia dibandingkan kamu.”
Kemudian Allah swt ciptakan pula nafsu, dan ketika ia dusuruh menghadap Allah, sepatah katapun tiada jawaban darinya, bahkan ketika ditanya: “Siapa kamu, dan siapa Aku ?” Jawabnya: “Aku ya aku, Kamu ya Kamu”. Maka dengan demikian ia patut menjalani hukuman, akibat tidak tahu diri, ia disiksa dilemparkan ke dalam kobaran api neraka jahanam selama 100 tahun, dan setelah habis masa hukumannya, ia dikeluarkan dari neraka, lalu ditanya:”Siapa sebenarnya engkau, dan siapa pula Aku? Jawabnya tiada berbeda dengan dulu: “Aku ya aku, Engkau ya Engkau”.
Akhirnya ia dihukum lagi, tapi kali ini ia dilemparkan ke dalam neraka lapar selama 100 tahun, sehabis masa hukuman ia ditanya lagi tentang diri dan Penciptanya, maka berkat hukuman lapar (puasa) ia mengakui bahwa dirinya adalah seorang hamba yang lemah, dan Allah Tuhannya, itulah sebabnya Allah mewajibkan puasa baginya.
Tingkatan Puasa.
Puasa ada 3 tingkatan, yaitu: “Puasa Umum ('aam), puasa khusus (khas) dan puasa khawashul khawaah.
Puasa umum, yakni puasa yang dikerjakan oleh kebanyakan umat (orang awam), ialah mengendalikan diri dari  hal-hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri.
Puasa khusus, yakni puasa yang dikerjakan oleh kebanyakan para shalihin, ialah mengekang anggota badan dari segala perbuatan dosa, yang demikian ini dapat tercapai, hanya dengan menguasai 5 perkara secara langgeng, yaitu:
Menundukkan pandangan mata dari hal-hal yang tercela menurut agama.
Memelihara lisan dari ghibah, dusta, adu-domba dan sumpah palsu, yang demikian ini bertolak dari hadits riwayat Anas ra, Nabi saw bersabda: “Ada 5 hal yang dapat membinasakan pahala puasa, yaitu: Dusta, ghibah, adu-domba, sumpah palsu dan memandang penuh syahwat.”
Memelihara telinga dari mendengarkan yang dibenci oleh agama.
Memelihara segenap anggota tubuh dari hal-hal yang dibenci oleh agama. Memelihara perut dari makan yang syubhat ketika berbuka, sebab apa artinya puasa dengan mengekang makan halal disiang hari, lalu berbuka dengan haram, demikian ini bagaikan orang membangun sebuah gedung ditengah kota, lalu kota tersebut dihancur-binasakan. Dalam hal ini Nabi saw bersabda: “Kebanyakan orang berpuasa tidak mampu memetik hasilnya, kecuali lapar dan dahaga”.
Tidak terlalu banyak mengisi perut, di saat berbuka, sekalipun dengan makanan halal, sebab Nabi saw bersabda: “Tiada orang yang lebih dibenci oleh Allah, dibandingkan orang yang suka memenuhi perutnya, sekalipun makanan yang halal”.
3. Puasa khawashul khawash, ialah memelihara gerak hati dari tujuan hal-hal yang bersifat dunia semata, dan tidak semata memikirkannya, dan mengekangnya dari niat atau memikirkan selain Allah.
Bagi tingkatan puasa demikian, apabila memikirkan hal-hal selain Allah, maka gugurlah puasanya, inilah puasa yang setingkat dengan puasanya para Nabi dan para shiddiqin. Dan pada hakekatnya kedudukan ini, menghadapkan jiwa raga sepenuhnya kepada Allah, dan berpaling dari selain Dia.
Hikayat
Ada seorang majusi melihat anaknya tiada tahu diri dalam bulan Ramadhan makan di pasar, lalu ia menghajarnya dengan pukulan, katanya: “Kenapa kamu tidak tahu diri dalam bulan Ramadhan, yang seharusnya engkau pandai menghormati umat Islam yang tengah berpuasa?” Yang demikian ini adalah sikap dan tindakan seorang majusi penyembah api atau katakanlah orang musyrik dalam mendidik anaknya. Kemudian bagaimanakah dengan sikap kita di negeri ini dewasa ini yang nota bene 95% mengaku beragama Islam, dalam menghormati Ramadhan?
Alkisah, orang majusi itu meninggal dunia, dan pada suatu malam seorang ‘alim mimpi bertemu dengannya, ia berada di ranjang indah di sorga, ketika ditanya: “Lo anda kan orang Majusi, kenapa di tempat ini?” Jawabnya: “Betul, semula memang aku orang Majusi, tetapi menjelang maut tiba, tersentuh hatiku untuk memeluk Islam, saat itu aku dengar seruan di atasku: “Hai para malaikatKu, jangan biarkan ia mati tersesat dengan agama majusinya, angkatlah dia menjadi seorang muslim terhormat, sebab ia telah menghormati bulan suci Ramadhan”.
Motifasi
Dengan menyimak ceritera tersebut di atas, hendaklah cukup menjadi pendorong (motifasi) bagi masyarakat untuk melaksanakan hak bulan Ramadhan dan menghormatinya, karena kita harus optimis dengan anugrah iman sebagaimana yang diperoleh orang majusi tersebut, ia memperoleh anugrah iman, hanya dengan menghormatinya apalagi jika mau melaksanakan puasa Ramadhan penuh keyakinan dan keikhlasan jiwanya.
Nabi saw bersabda: “Siapa lega hati, menyambut kehadiran bulan Ramadhan, pasti Allah mengharamkan tubuhnya atas neraka apa saja.”
Nabi saw bersabda: “Pada malam pertama bulan Ramadhan, Allah berfirman: “Siapa mencintaiKu, pasti Akupun mencintainya, siapa mencari rahmatKu, pasti rahmatKupun mencarinya, dan siapa beristighfar kepadaKu, pasti Aku mengampuninya, berkat hormat Ramadhan, lalu Allah menyuruh malaikat mulia pencatat amal, khusus dalam bulan Ramadhan supaya menulis amal kebaikan semata, tidak mencatat laku kejahatan mereka, umat Muhammad, dan Allah menghapus dosa-dosa terdahulu bagi mereka.”
Renungan
Sekarang semuanya kembali pada diri kita masing-masing, apakah kita mampu melawan hawa nafsu kita sendiri, karena pada bulan suci Ramadhan hampir bisa dipastikan bahwa kita tidak diganggu oleh syetan, karena syetan-syetan dibelenggu sesuai dengan hadits Nabi SAW sebagai berikut: dari Abu Hurairah Ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW telah bersabda, “Apabila bulan Ramadhan datang, maka pintu-pintu surga akan dibukakan dan pintu-pintu neraka akan ditutup serta syetan-syetan akan dibelenggu.” (HR Bukhari No. 1898 dan Muslim 1079).
Agar kita tergolong orang-orang yang mampu mengatasi hawa nafsunya sendiri, mendapatkan tambahan keimanan supaya kita bisa lebih bertaqwa kepada Allah dengan mendapatkan Ridho-Nya untuk mencapai satu tujuan yaitu Surga.
semoga ibadah puasa kita sempurna dan
diterima oleh Allah SWT..
Marhaban yaa Ramadhan.

Sabtu, 22 Agustus 2009

posting foto pertama

"Barang siapa yang merasa gembira dengan datangnya ramadhan, Allah akan mengharamkan jasadya dimakan api neraka" (al-Hadits)
kaum muslimin hamba Allah sekalian betanya agungnya bulan suci ramadhan, bulan yang telah Allah istimewakan kepada ummat Nabi Muhammad SAW. belum pernah Allah memberikan keistimewaan i i sebelumnya kepada ummat sebelum kita.

Rabu, 19 Agustus 2009

STATUS SYAHID KARENA BOM BUNUH DIRI

ditulis oleh ulama NU Jatim tahun 2006

1) Apa sajakah kriteria agar terpenuhi status mati syahid dengan prospek masuk surga menurut pandangan ulama ahli syari’at ?
Jawaban :

Kriteria Syahid, dengan prospek masuk surga mencakup 2 golongan:
a) Syahid dunia akhirat:; adalah orang yang mati dalam medan peperangan melawan orang kafir dan dia mati sebab perang.
b) Syahid akhirat; adalah orang yang mati dengan sebab-sebab syahadah sebagaimana berikut: antara lain: tenggelam , sakit perut, tertimpa reruntuhan, dll.
المراجع:
هامش القليوبى و عميره جز 1 ص : 337
إعْلَمْ أَنَّ المُصَنِّفَ (النَّوَويَّ) رَحِمَه اللهُ ذَكرَ فِي ضَابِطِ الشَّهيدِ ثلاثَ قُيُودٍ المَوتَ حَالَ القِتالِ وَكَونَهُ قِتالُ كُفَّارٍ وكَونَهُ بِسَببِ قِتالٍ.
Terjemah :
Ketahuilah bahwa sesungguhnya musonnif (Imam Nawawi) dalam hal definisi mati sahid menuturkan tiga syarat, yaitu mati ketika berperang, perangnya melawan kafir, dan matinya karena sebab berperang.
متن الشرقاوي جز 1 ص : 338
وَخَرَجَ بِشَهيدِ المَعْرِكَةِ غَيرُهُ مِن الشُّهَداءِ كَمَن مَاتَ مَبْطونًا أوْ مَحْدُودًا أوْ غَريْقًًا أوْ غَريْبًا أوْ مَقتُولاً ظُلْمًا أوْ طَالِبَ عِلمٍ فَيُغْسَلُ وَ يُصَليَّ عَليهِ وَ إنْ صَدَقَ عَليهِ إسْمُ الشَّهيدِ فَهُوَ شَهيدٌ فِي ثوَابِ الأخِرَةِ.



Terjemah :
Dikecualikan dari status mati syahid dalam peperangan ialah para syuhada’ selain dalam peraperangan, seperti halnya mati karena sakit perut (mabtun), atau di had (hukum), atau tenggelam (ghoriq), atau diasingkan, atau dibunuh karena dzalim, atau daalam waktu mencari ilmu. Maka mereka semua itu di mandikan, dan disholati, meskipun bersetatus mati sahid, karena dia mati sahid dalam perhitungan pahala diakhirat.

2) Syahidkah jenazah gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI dan menciptakan negara Islam untuknya ?
3) Berstatus mati syahidkah pelaku teror di Indonesia yang berdasar hukum positif (UU Anti Terorisme) harus dieksekusi sesuai putusan majelis hakim yang mengadilinya ?
4) Karena dinyatakan bersalah secara hukum negara, benarkah terhadap jenazah teroris pasca eksekusi hukuman mati tidak perlu dishalatkan dengan pertimbangan aksi teror itu dosa besar dan fasiq terbukti korban yang terbunuh ternyata sesama muslim ?
Jawaban :
Mayit pelaku gerakan separatis bukan termasuk syuhada', sehingga mayitnya tetap dimandikan dan dishalati seperti layaknya mayit muslim.
المراجع:
مغني المحتاج معرفة الفاظ المنهاج للشيخ محمد بن احمد الشربيني الخطيب ، ج ك 2 ص : 35 ، مانصه:
أمَّا إذَا كَانَ المَقتُولُ مِنْ أهْلِ البَغْىِ فَليْسَ بِشَهيدٍ جَزْمًا
Terjemah :
Adapun orang yang terbunuh itu dari ahlul baghyi (pemberopntak) maka mereka bukan termasuk mati syahid dengan pasti.

روضة الطالبين للشيخ محي الدين يحي بن أبي زكريا النووي ، ج : 2 ، ص : 42 ، مانصه :
النَّوعُ الثانِي الشُّهَداءُ العَارُونَ عَن جَمِيعِ الأوْصَافِ المَذْكُورَةِ كَالمَبْطُونِ وَالمَطْعُونِ وَالغَرِيقِ وَالغَرِيبِ وَالمَيّتِ عِشْقا وَالمَيّتَةِ فِي الطَّلْقِ وَمَن قَتَلَهُ مُسْلِمٌ أوْ ذِمِّيٌّ أوْ بَاغِ القِتالِ فَهُم كَسَائِرِ المَوتىَ يُغْسَلونَ وَيُصَلىَّ عَليْهِمْ وَإنْ وَرَد فِيهِمْ لفْظُ الشَّهادَةِ وَكذَا المَقتُولُ قِصَاصًا أوْ حَدّا لَيسَ بِشَهيدٍ
Terjemah :
Macam yang kedua yaitu orang-orang yang mati syahid yang selain dari sifat-sifat tersebut diatas, seperti mati karena sakit perut, sakit tho’un (wabah), tenggelam, diasingkan, mati karena merindukan (kekasih), mati karena melahirkan dan orang yang mati karena dibunuh sesama muslim atau orang kafir dzimmy atau orang yang menentang berperang, maka mereka semua dihukumi seperti mati biasa, artinya harus disholati dan dimandikan. meskipun statusnya mati syahid (di akherat), begitu juga mati karena dihukum qisos atau dihukum had itu bukan mati syahid.
الموسوعة الفقهية ج : 8 ص : 152، مانصه :
أما قتلى البغاة، فمذهب الملكية والشافعية والحنابلة : أنهم يغسلون ويكفنون ويصلي عليهم، لعموم قوله صلى الله عليه وسلم : (صلوا على من قال لا إله إلا الله ) ولأنهم مسلمون لم يثبت لهم حكم الشهادة، فيغسلون ويصلي عليهم ومثله الحنفية، سواء اكانت لهم فئة أم لم تكن لهم فئة على الرأي الصحيح عندهم وقد روي أن عليا رضي الله عنه لم يصل على أهل حروراء، ولكنهم يغسلون ويكفنون ويدفنون ولم يفرق الجمهور بين الخوارج وغيرهم من البغاة في حكم التغسيل والتكفين والصلاة .


Terjemah :
Adapun orang-orang yang terbunuh dari para pembangkang (bughot) maka menurut ulama’madzab Maliki, Syaf’ii dan Hambali mereka itu harus dimandikan, dikafani dan sisholati karena keumuman sabda Rasulullah SAW (artinya) “Sholatilah orang-orang yang mati dan berkata Laa Ilaa Ha Illallaah”. Karena mereka adalah orang-orang Islam yang tidak berstatus mati syahid maka dia dimandikan dan disholati.
Begitupula pendapata ulama’ madzab Hanafi, baik mereka itu mempunyai kelompok atau tidak, menurut pendapat yang sohih dikalangan ulam’ hanafiyyah. Diriwayatkan sesungguhnya sahabat Ali RA tidak melakukan sholat terhadap orang golongan Harurok, tetapi mereka itu dimandikan, dikafani dan dimakamkan ditempat pemakaman muslim. Juhur al ulama (kebanyakan ulama) tidak membedakan antara kaum khawarij dan lainnya dari golongan penentang pemerintahan yang sah di dalam hukum memandikan, mengkafani serta mensholati.
حاشية الجمل 2
وَتَجْهِيزُهُ أيِ المَيّتِ المُسْلِمِ غَيرِ الشَّهيدِ بِغَسْلِهِ وَ تكْفِينِهِ وَ حَمْلِه وَ الصَّلاةُ عَليْهِ وَدَفنِهِ وَ لَوْ قَاتلَ نَفْسَهُ فَرضُ كِفَايَةٍ.
Terjemah :
Merawat jenazahnya orang Islam yang selain mati syahid dengan cara memandikan, mengkafani, membawa, menyolati dan mengkuburkan walaupun melakukan bunuh diri, hukumnya fardhu kifayah.
5. Bolehkah orang melakukan bunuh diri guna memperjuangkan sesuatu yang menjadi keyakinan pribadinya ?
Jawaban :
Bunuh diri tidak dibenarkan dalam syariat sekalipun dalam rangka memperjuangkan kebenaran. Akan tetapi dalam peperangan yang dizinkan syara' (jihad) menyerang musuh dengan keyakinan akan terbunuh untuk membangkitkan semangat juang kaum muslimin adalah diperbolehkan.
المراجع
تفسير ابن كثير ج: 1 ص: 481
عَنْ أبِي صَالِحٍ عَن أبِي هُرَيرَةَ قالَ قالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَليهِ وَسَلمَ مَن قَتلَ نَفْسَهُ بِحَدِيدَةٍ فِي يَدِهِ يَجَأُ بِها بَطْنَهُ يَوْمَ القِيامَةِ فِي نَارِ جَهَنمَ خَالِدًا مُخَلَّدًا فِيهَا أبَدًا وَمَن قتلَ نَفسَهُ بِسُمٍّ تَرَدَّى بِه فَسَمَّهُ فِي يَدِهِ يَتَحَسَّاهُ فِي نَارِ جَهَنمَ خَالدًا مُخَلدًا فِيهَا أبَدًا وَهَذا الحَدِيثُ ثابِتٌ فِي الصَّحِيحَينِ خ م
Terjemah :
Dari Abi Sholeh dari Abi hurairoh berkata : Rosululloh SAW. bersabda : Barang siapa melakukan bunuh diri dengan cara membenamkan besi keperutnya sendiri besuk pada hari kiamat akan masuk neraka Jahannam selam-lamanya.
Dan barang siapa melakukan bunuh diri dengan cara menaruh racun di tangannya dengan menghirupnya maka akan masuk neraka jahanam selam-lamanya. Hadits ini telah ditetapkan dalam dua kitab Shohih.

اسعاد الرفيق جز 2 ص :
تتِمَّة مِنَ الكَبَائِرِ قَتلُ الإنْسَانِ نَفسَهُ لِقَولِه عَليْهِ الصَّلاةُ وَالسَّلامُ مَنْ تَرَدَّى مِنْ جَبَلٍ فَقتَلَ نَفْسَه فَهُو فِى نَارِ جَهَنّمَ يَترَدَّى فِيهَا خَالِدًا مُخَلدًا فِيهَا ابَدًا
Terjemah :
Termasuk dosa besar adalah bunuh diri, sebagaimana sabda Nabi SAW. : “Barang siapa bunuh diri dengan menjatuhkan diri dari ketinggian gunung maka akan masuk neraka jahanam dengan terlempar selama-lamanya.
الموسوعة الفقهية 6 ص : 285 – 286
الانتحار حرام بالاتفاق ويعتبر من اكبر الكبائر بعد الشرك بالله قال الله تعالى ولا تقتلوا النفس التى حرم الله الا بالحق وقال ولا تقتلوا انفسكم ان الله كان بكم رحيما وقد قرر الفقهاء ان المنتخر اعظم وزرا ممن قاتل غيره وهو فاسق وباغ على نفسه حتى قال بعضهم لايغسل ولايصلى عليه كالبغاة وقيل لاتقبل توبته تغليظا عليه كما ان ظاهر بعض الأحاديث يدل على خلوده في النار منها قوله من تردى من جبل فقتل نفسه فهو في نار جهنم يتردى فيها خالدا مخلدا فيها ابدا
Terjemah :
Bunuh diri adalah harom denga kesepakatan para ulama’ dan dipandang dosa yang paling besar setelah syirik kepada Allah. Allah berfirman ( artinya ): “ Janganlah kalian semua membunuh jiwa yang diharomkan oleh Allah kecuali dengan jalan yang haq”, dan firman Allah ( artinya ): “Janganlah kalian membunuh dirimu sendiri sesungguhnya Allah maha penyayang terhadap kamu semua”. Para Fuqoha’ menetapkan bahwa orang yang melakukan bunuh diri lebih besar dosanya dari pada orang yang memerangi orang lain, dan dialah orang fasiq dan menganiaya dirinya, hingga sebagian ulama’ mengatakan bahwa dia tidak dimandikan dan disholati sebagaimana para pembangkang. Ada pendapat lain bahwa dia tidak diterima taubatnya karna memberatkan atas kesalahannya sebagaimana dlohirnya sebagian hadits menunjukkan keabadiannya dalam neraka.
الموسوعة الفقهية 6 ص : 285 – 286
ثانيا هجوم الواحد على صف العدو : 11 اختلف الفقهاء فى جوار هجوم رجل من المسلمين وحده على العدو مع التيقن بانه سيقتل فذهب الما لكية الى جواز اقدام الرجل المسلم على الكثير من الكفار ان كان قصده اعلاء كلمة الله وكان فيه قوة وظن تأثيره فيهم ولو علم ذهاب نفسه فلا يعتبر ذلك انتحارا – الى ان قال – وكذلك لو علم وغلب على ظنه انه يقتل لكن سينكى نكاية او سيبلى او يؤثر أثرا ينتفع به المسلمون ولا يعتبر هذا القاء النفس الى التهلكة المنهي عنه بقوله تعالى ولا تلقوا بأيديكم الى التهلكة – الى ان قال – كذلك قال ابن العربى والصحيح عندى جوازه لآن فيه اربعة اوجه الاول طلب الشهادة الثانى وجود النكاية الثالث تجرئة المسلمين عليهم الرابع ضعف نفوس الآعداء ليروا ان هذا صنع واحد منهم فما ظنك بالجميع
Artinya :
Kedua masuknya seseorang pada barisan musuh. Para Fuqoha’ berselisih pendapat tentang bolehnya seorang diri kaum muslimin masuk kebarisan pasukan musuh dengan keyakinan dia akan terbunuh. Ulama’ madzhab Maliki berpendapat bahwa boleh seorang muslim mendatangi pasukan kafir dalam jumlah banyak apabila bertujuan meninggikan kalimah Allah dan dia mempunyai kekuatan dan persangkaan adanya pengaruh dikalangan orang-orang kafir walaupun dia yakin akan kehilangan nyawa, maka yang demikian itu tidak dianggap bunuh diri. – sampai perkataan Mushonnif- demikian pula jika ia yakin dan menyangka dengan kuat bahwa ia akan dibunuh akan tetapi dia akan benar-benar dapat mengalahkan/ menghancurkan/menimbulkan pengaruh yang dapat diambil manfaat oleh kaum muslimin. Tindakan seperti ini tidak dipandang mencampakkan diri pada kebinasaan yang dilarang oleh firman Allah ( artinya) : “ Janganlah kalian mencampakkan dirimu pada kehancuran “. – sampai perkataan Mushonnif- Ibnul ‘Arobi berkata : yang shohih menurut saya tindakan tersebut boleh karna mengandung empat aspek (1) Mengharapkan mati syahid (2)Adanya kemenangan (3) Memberanikan umat Islam melawan orang kafir dan (4) melemahkan mental musuh.

6( Hukuman bentuk apa dinilai tepat ditimpakan kepada promotor/pemberi indoktrinasi bunuh diri dengan pemahaman konsep jihad yang salah dan menanamkan keyakinan status mati syahid serta kepastian masuk surga kepada calon pelaku bom bunuh diri.
Jawaban :
Hukuman bagi promotor / pemberi indoktrinasi bunuh diri adalah ta’zir, bahkan bisa sampai hukuman mati , apabila dampak mafsadah dan madlaratnya merata dikalangan masyarakat luas serta hukuman ta’zir yang lain sudah tidak efektif lagi.
تفسير الطبري ج: 6 ص: 205
إنّمَا جَزَآءُ الذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرسولَهُ وَيَسْعَونَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أنْ يُقتلُوا أوْ يُصَلبُوا أوْ تُقَطَّع أيْدِيهِمْ وأرْجُلِهمْ مِنْ خِلافٍ أوْ يُنْفَوا مِنَ الأرْضِ ذَلكَ لَهُم خِزْيٌ فِي الدُنيَا وَلهُم فِي الآخِرَةِ عَذَابٌ عَظيمٌ
Terjemah :
Balasan bagi orang yang memusuhi Alloh dan utusan-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi adalah dibunuh atau disalib atau dipotong kedua tangan dan kakinya secara bergantian (selang seling) atau disingkirkan dari muka bumi. Itu semua adalah balasan di dunia sedangkan balasan di akhirat adalah adzab yang sangat besar.

تفسير ابن كثير ج: 2 ص: 48
المحاربة هي المضادة والمخالفة وهي صادقة على الكفر وعلى قطع الطريق وإخافة السبيل وكذا الإفساد في الأرض
Terjemah :
Muharobah (memerangi) ialah : perlawanan dan menentang, yaitu sesuai (pas) dengan kufur dan tindakan perampokan dijalanan, dan menakut-nakuti di jalan, begitu juga membikin kerusakan dibumi.
تفسير الطبري ج: 6 ص: 211
وأما قوله ويسعون في الأرض فسادا فإنه يعني ويعملون في أرض الله بالمعاصي من إخافة سبل عباده المؤمنين به أو سبل ذمتهم وقطع طرقهم وأخذ أموالم ظلما وعدوانا والتوثب على جرمهم فجورا وفسوقا
Terjemah :
Adapun pengertian firman Allah (artinya) : “ Dan mereka melakukan kerusakan di muka bumi.” Itu artinya : mereka melakukan kemaksiatan di muka bumi ini, dengan cara menakut-nakuti (terror/ancaman) jalannya orang-orang mukmin, atau jalannya tanggungan orang-orang mukmin, dan menghadang perjalanannya, merampas harta bendanya dengan cara dzalim dan ceroboh (aniaya) dan berani melukainya dengan cara keterlaluan dan fasiq.




تفسير القرطبي ج: 6 ص: 149
إنّمَا جَزَآءُ الذِينَ يُحَارِبُونَ اللهَ وَرسولَهُ وَيَسْعَونَ فِي الأرْضِ فَسَادًا أنْ يُقتلُوا أوْ يُصَلبُوا الآية - الى ان قال - قال مالك والشافعي وأبو ثور وأصحاب الرأي الآية نزلت فيمن خرج من المسلمين يقطع السبيل ويسعى في الأرض بالفساد قال ابن المنذر قول مالك صحيح قال أبو ثور واحتج لهذا القول
Terjemah :
Firman Allah (artinya) : “Seseungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Alloh dan Rosul-Nya dan berbuat kerusakan di bumi agar supaya dibunuh, atau disalib”, dan seterusnya - sampai perkataan mufassir- Berkatalah Imam Malik, Imam Syafi-ie, Imam Abu Tsur, dan Para pakar pendapat : Ayat ini diturunkan buat orang Islam yang keluar memisahkan diri ikatan kelompoknya dan berbuat kerusakan di bum.Bberkatalah Ibnu Mundzir : Perkataan Imam Malik betul, Abu Tsaur berkata : Perkataan ini dapat dibuat hujjah / dasar.

تفسير القرطبي ج: 7 ص: 133
ولا تقتلوا النفس التي حرم الله إلا بالحق – الى ان قال - من شق عصا المسلمين وخالف إمام جماعتهم وفرق كلمتهم وسعى في الأرض فسادا بانتهاب الأهل والمال والبغي على السلطان والامتناع من حكمه يقتل فهذا معنى قوله إلا بالحق
Terjemah :
Firman Allah (artinya) : “Janganlah kalian semua membunuh seseorang yang diharamkan Alloh kecuali dengan haq” (cara yang benar). -sampai perkataan mufassir- : Barang siapa meretakkan persatuan kaum muslimin, menentang pimpinan kelompok umat Islam dan memisah-misahkan kalimah mereka dan berbuat kerusakan dimuka bumi dengan jalan melakukan perampokan / perampasan keluargadan harta, dan membangkang terhadap pengusa dan menolak keputusannya, maka orang tersebut boleh dibunuh. Ini lah makna firman Illa bi al Haq.
فتاوى الكبرى لابن تيمية 5\
وَهَذَا التعْزِيرُ ليْسَ يُقَدَّرُ بَلْ يَنْتهِى اِلىَ القَتْلِ كَمَا فِى الصَّائِلِ فِى اَخْذِ المَالِ يَجُوْزُ اَنْ يُمْنَعَ مِن الأخْذِ وَلوْ بِالقتْلِ وَعلَى هَذا فَاِذا كَانَ المَقصُودُ دَفْعَ الفَسَادِ وَلمْ يَنْدَفِعْ إلاِّ بِالقتْلِ قُتِلَ. وَحِينئِذٍ فَمَن تَكَرَّرَ مِنهُ فِعْلَ الفَسَادِ وَلمْ يَرْتَدِعْ لِلحُدُودِ المُقَدَّرَةِ بَلِ اسْتَمَرَّ علىَ ذَلِكَ الفَسَادِ فَهُو كَالصَّائِلِ الذِّى لاَ يَنْدَفِعُ إلاّ بِالقتْلِ فَيُقتَلُ قِيلَ وَيُمْكِنُ انْ يُخْرَجَ شَارِبُ الخَمْرِ فِى الرَّابِعَةِ علىَ هَذا
Terjemah :
Hukuman ta’zir (menjerakan) ini tidak ada kepastian bahkan bisa sampai kepada hukuman bunuh, sebagaimana dilakukan terhadap shoil (orang yang berbuat jahat) dalam mengambil harta, boleh menghadang dia dari mencuri harta meskipun dengan membunuh. Berdasarkan keterangan ini, ketika tujuan (ta’zir) adalah menolak kerusakan (bahaya) dan tidak tertangani kecuali dengan cara membunuh, ya dibunuh. Dengan demikian, orang yang berulang kali melakukan kejahatan, dan hukuman-hukuman yang diberikan tidak diindahkan, bahkan dia terus menerus berbuat jahat maka dia bagaikan shoil (penjahat) yang tidak bisa dihentikan kecuali dengan dibunuh, maka boleh dibunuh. Dikatakan, mungkin pemabuk menurut pendapat ini bisa dihukum sama dengan shoil (penjahat) dengan cara dibunuh.

الفقه الاسلامى 7\5354
وَالعُقوبَاتُ التَّعْزِيرِيَّةُ : هِىَ التَّوْبِيخُ اوِ الزَّجْرُ بِالكَلاَمِ وَالحَبْسُ وَالنَّفْيُ عَنِ الوَطَنِ وَالضَّرْبُ وَقدْ يَكُونُ التَّعْزِيرُ بِالقتْلِ سِيَاسَةً فِى رَأيِ الحَنَفِيّةِ وَبَعضِ المَالِكِيّةِ وَبَعضِ الشَّافِعِيّةِ اِذَا كَانَتِ الجَرِيْمَةُ خَطِيرَةً تَمَسُّ اَمْنَ الدَّوْلَةِ اوِ النِّظَامَ العَامَّ فِى الاسْلامِ مِثلَ قَتْلِ المُفَرِّقِ جَماعَةَ المُسلِمِينَ اوِ الدَّاعِى الىَ غَيرِ كِتابِ اللهِ وَسُنّةِ رَسُولِهِ صلىَّ اللهُ عَليهِ وَسلّمَ اوِ التَّجَسُّسِ اوِ انْتِهَاكِ عِرْضِ امْرَأةٍ بِالإكْرَاهِ اذَا لمْ يَكُنْ هُناكَ وَسِيلةٌ اُخْرَى لِقَمْعِهِ وَزَجْرِهِ أهـ
Terjemah :
Hukuman / sanksi ialah : mencela, atau mencegah dengan ucapan, menahan (memenjara), diasingkan jauh dari tanah kelahian dan dipukul. Bahkan terkadang ta’zir itu bisa terjadi dengan cara dibunuh karena kepentingan siyasah didalam pendapat Hanafiyah, sebagian Malikiyah, serta sebagian Syafi’iyah. Ketika Jarimah (pidana)itu membahayakan yang menyangkut keselamatan negara, atau aturan umum dalam Islam, seperti membunuh orang yang memecah belah kelompok orang-orang Islam, atau orang yang mengajak kepada selain aturan Kitabulloh dan Sunnah Rosul-Nya SAW. atau meneror (menakut-nakuti), atau merusak harga diri perempuan dengan paksa ketika disana tidak ada cara lain untuk menanggulangi dan mencegahnya.

MAS'A YANG TELAH DIPERLUAS

HUKUM MAS'A YANG TELAH DIPERLUAS

Sa'i adalah salah satu rukun haji dan umrah yang tidak bisa digantikan dengan amalan lainnya. Menurut informasi para tokoh yang baru melaksanakan umrah dibulan Ramadhan 1428 H bahwa jalur sa'i dari bukit Shafa ke bukit Marwah dipindahkan dari mas'a ( tempat sa'i) yang asli yaitu Bathnul Wadi ke area serambi depan peralatan Jabal Abi Qubais selebar 20 meter sepanjang jalur sa'i. Kebijakan diambil Pemerintah Arab Saudi dengan tujuan memberikan pelayanan terbaik kepada tamu-tamu Allah sekaligus guna menghindari kepadatan para Hujjaj saat melakukan ibadah sa'i. Efeknya menimbulkan keresahan bagi para calon jama'ah haji tentang kedudukan hukum sah-tidaknya haji dan umrah. Ada sebagian ulama telah menfatwakan tidak perlu melaksanakan sa'i, cukup begitu selesai thawaf langsung bertahallul tanpa melaksanakan sa'i sebagimana lazimnya.
Pertanyaan :
Bagaimana pendapat ulama Nahdliyyin peserta Bahtsul Masail tentang hukum tidak melaksanakan sa'i dengan segala refrensi yang bisa dipertanggungjawabkan sekaligus memberi jalan keluar dan penjelasan kepada para calon jama'ah haji ?


Jawaban :
Apabila masih memungkinkan melewati jalur lama (Bathnul Wadi), maka harus tetap melewati jalur lama. Namun apabila hal diatas tidak memungkinkan, maka bagi jama’ah haji diperkenankan mengikuti salah satu riwayat pendapat dalam madzhab Hambali bahwa sa’i hukumnya sunnat.
الموسوعة الفقهية ج 25 ص 12-13
ذهَبَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي الْمُعْتَمَدِ عِنْدَهُمْ إلَى أَنَّ السَّعْيَ رُكْنٌ مِنْ أَرْكَانِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ , لَا يَصِحَّانِ بِدُونِهِ . وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ وَعُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ . وَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ فِي رِوَايَةٍ إلَى أَنَّ السَّعْيَ وَاجِبٌ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ , وَلَيْسَ بِرُكْنٍ فِيهِمَا , فَمَنْ تَرَكَهُ لِغَيْرِ عُذْرٍ وَجَبَ عَلَيْهِ الدَّمُ , وَإِنْ تَرَكَهُ لِعُذْرٍ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ , وَهُوَ مَرْوِيٌّ عَنْ الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ وَسُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ . وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ بْنِ حَنْبَلٍ أَنَّهُ سُنَّةٌ لَا يَجِبُ بِتَرْكِهِ دَمٌ , وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَنَسٍ , وَابْنِ الزُّبَيْرِ وَابْنِ سِيرِينَ . وَسَبَبُ الْخِلَافِ أَنَّ الْآيَةَ الْكَرِيمَة : { إنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ . . . } لَمْ تُصَرِّحْ بِحُكْمِ السَّعْيِ , فَآلَ الْحُكْمُ إلَى الِاسْتِدْلَالِ بِالسُّنَّةِ وَبِحَدِيثِ : { اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ السَّعْيَ } . وَفِي الصَّحِيحَيْنِ عَنْ { أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَدِمْت عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ بِالْبَطْحَاءِ فَقَالَ : بِمَا أَهْلَلْت ؟ قُلْت : أَهْلَلْت بِإِهْلَالِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم . قَالَ : هَلْ سُقْت مِنْ هَدْيٍ ؟ قُلْت : لَا . قَالَ : فَطُفْ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ , ثُمَّ حِلَّ } . فَاسْتَدَلَّ بِذَلِكَ الْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَمَنْ وَافَقَهُمْ عَلَى الْفَرْضِيَّةِ , لِأَنَّ " كَتَبَ " بِمَعْنَى فَرَضَ ; وَلِأَنَّهُ صلى الله عليه وسلم أَمَرَ أَبَا مُوسَى بِالسَّعْيِ وَرَتَّبَ عَلَيْهِ الْحِلَّ فَيَكُونُ فَرْضًا . وَاسْتَدَلَّ بِهِ الْحَنَفِيَّةُ عَلَى الْوُجُوبِ ; لِأَنَّهُ كَمَا قَالَ الْكَمَالُ بْنُ الْهُمَامِ : " مِثْلُهُ لَا يَزِيدُ عَلَى إفَادَةِ الْوُجُوبِ , وَقَدْ قُلْنَا بِهِ . أَمَّا الرُّكْنُ فَإِنَّمَا يَثْبُتُ عِنْدَنَا بِدَلِيلٍ مَقْطُوعٍ بِهِ . فَإِثْبَاتُهُ بِهَذَا الْحَدِيثِ إثْبَاتٌ بِغَيْرِ دَلِيلٍ " . يَعْنِي بِغَيْرِ دَلِيلٍ يَصْلُحُ لِإِثْبَاتِ الرُّكْنِيَّةِ . وَاسْتَدَلَّ لِلْقَوْلِ بِالسُّنِّيَّةِ بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا } . وَنَفْيُ الْحَرَجِ عَنْ فَاعِلِهِ دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِهِ , فَإِنَّ هَذَا رُتْبَةُ الْمُبَاحِ , وَإِنَّمَا تَثْبُتُ سُنِّيَّتُهُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ }
المغني لابن قدامة الحنبلي ج 1 ص 267
السعي
فَصْلٌ : وَاخْتَلَفَتْ الرِّوَايَةُ فِي السَّعْيِ , فَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ رُكْنٌ , لَا يَتِمُّ الْحَجُّ إلَّا بِهِ . وَهُوَ قَوْلُ عَائِشَةَ , وَعُرْوَةَ , وَمَالِكٍ , وَالشَّافِعِيِّ ; لِمَا رُوِيَ عَنْ عَائِشَةَ , قَالَتْ { : طَافَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَطَافَ الْمُسْلِمُونَ - يَعْنِي بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ - فَكَانَتْ سُنَّةً } , فَلَعَمْرِي مَا أَتَمَّ اللَّهُ حَجَّ مَنْ لَمْ يَطُفْ بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ . رَوَاهُ مُسْلِمٌ . وَعَنْ { حَبِيبَةَ بِنْتِ أَبِي تُجْرَاةَ , إحْدَى نِسَاءِ بَنِي عَبْدِ الدَّارِ , قَالَتْ : دَخَلْت مَعَ نِسْوَةٍ مِنْ قُرَيْشٍ دَارَ آلِ أَبِي حُسَيْنٍ , نَنْظُرُ إلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ يَسْعَى بَيْنَ الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ , وَإِنَّ مِئْزَرَهُ لَيَدُورُ فِي وَسَطِهِ مِنْ شِدَّةِ سَعْيِهِ , حَتَّى إنِّي لَأَقُولُ : إنِّي لَأَرَى رُكْبَتَيْهِ . وَسَمِعْته يَقُولُ : اسْعَوْا , فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمْ السَّعْيَ } . رَوَاهُ ابْنُ مَاجَهْ . وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ , فَكَانَ رُكْنًا فِيهِمَا , كَالطَّوَافِ بِالْبَيْتِ . وَرُوِيَ عَنْ أَحْمَدَ أَنَّهُ سُنَّةٌ , لَا يَجِبُ بِتَرْكِهِ دَمٌ . رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ , وَأَنَسٍ , وَابْنِ الزُّبَيْرِ , وَابْنِ سِيرِينَ ; لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى : { فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا } . وَنَفْيُ الْحَرَجِ عَنْ فَاعِلِهِ دَلِيلٌ عَلَى عَدَمِ وُجُوبِهِ , فَإِنَّ هَذَا رُتْبَةُ الْمُبَاحِ , وَإِنَّمَا ثَبَتَ سُنِّيَّتُهُ بِقَوْلِهِ : مِنْ شَعَائِر اللَّهِ . وَرُوِيَ أَنَّ فِي مُصْحَفِ أُبَيٍّ وَابْنِ مَسْعُودٍ : ( فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ لَا يَطَّوَّفَ بِهِمَا ) . وَهَذَا إنْ لَمْ يَكُنْ قُرْآنًا فَلَا يَنْحَطُّ عَنْ رُتْبَةِ الْخَبَرِ ; لِأَنَّهُمَا يَرْوِيَانِهِ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَلِأَنَّهُ نُسُكٌ ذُو عَدَدٍ لَا يَتَعَلَّقُ بِالْبَيْتِ , فَلَمْ يَكُنْ رُكْنًا كَالرَّمْيِ . وَقَالَ الْقَاضِي : هُوَ وَاجِبٌ . وَلَيْسَ بِرُكْنٍ , إذَا تَرَكَهُ وَجَبَ عَلَيْهِ دَمٌ . وَهُوَ مَذْهَبُ الْحَسَنِ , وَأَبِي حَنِيفَةَ , وَالثَّوْرِيِّ . وَهُوَ أَوْلَى ; لِأَنَّ دَلِيلَ مَنْ أَوْجَبَهُ دَلَّ عَلَى مُطْلَقِ الْوُجُوبِ , لَا عَلَى كَوْنِهِ لَا يَتِمُّ الْحَجُّ إلَّا بِهِ . وَقَوْلُ عَائِشَةَ فِي ذَلِكَ مُعَارَضٌ بِقَوْلِ مَنْ خَالَفَهَا مِنْ الصَّحَابَةِ . وَحَدِيثُ بِنْتِ أَبِي تُجْرَاةَ , قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : يَرْوِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُؤَمِّلِ , وَقَدْ تَكَلَّمُوا فِي حَدِيثِهِ . ثُمَّ إنَّهُ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ مَكْتُوبٌ , وَهُوَ الْوَاجِبُ . وَأَمَّا الْآيَةُ فَإِنَّهَا نَزَلَتْ لَمَّا تَحَرَّجَ نَاسٌ مِنْ السَّعْيِ فِي الْإِسْلَامِ , لِمَا كَانُوا يَطُوفُونَ بَيْنَهُمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ , لِأَجْلِ صَنَمَيْنِ كَانَا عَلَى الصَّفَا وَالْمَرْوَةِ . كَذَلِكَ قَالَتْ عَائِشَةُ